I believe I've gotta do that once in a while

743 128 23
                                    

"Waaahhh sulit dipercaya. Kau akan jadi seorang ibu Jeon Wonwoo!" Padahal baru saja Wonwoo membukakan pintu. Dan Dokyeom langsung berteriak demikian malam-malam begini. Untung saja tetangga Wonwoo hanyalah pohon-pohon gundul sehingga tidak akan ada yang terganggu. Dokyeom bahkan langsung mencium kedua belah pipi Wonwoo dan memeluknya erat. Membuat Mingyu yang melihat itu membeku di tempat. Sementara Hoshi langsung menjewer telinga kanan Dokyeom hingga dibuat meringis.

"Auw! Sakit sayang..." dan Wonwoo justru merasa lega karena pelukan erat teman dekatnya yang membuat sesak nafas itu akhirnya terlepas.

Kalau kau bukan teman Wonwoo, sudah kulemparkan kau ke danau. Batin Mingyu.

"Dasar modus! Kau tidak lihat ada aku di sini?!" Hoshi berujar galak ala-ala gadis pra-menstruasi.

"Maafkan aku semuanya. Kebiasaan dari kecil." Setelah itu Hoshi melepaskan sentuhannya dengan kasar. Dan Dokyeom masih meringis ketika mengusapi kupingnya yang sudah memerah sakit.

Setelah itu Hoshi menyerahkan paperbag berisi sayuran dan buah-buahan impor dari pulau Spitsbergen pada Wonwoo. Sementara Dokyeom menyerahkan beberapa bongkah batu bara dari pertambangan tempat ia bekerja, dalam sebuah bungkusan ke tangan Mingyu. Ia bilang itu bagus untuk membuat api.

Hoshi mencuci beberapa buah-buahan. Lalu menyuapkan potongan-potongan kiwi segar yang sudah dikupas pada Siyeon. Ia mencubit pelan dan mengecup pipi gembil bocah perempuan itu gemas, "Kau lucu sekali sayang. Aku juga jadi ingin punya anak."

"Siyeon bukan anakku. Ia adikku."

"Iya iya aku tahu. Tapi tetap saja. Ia kan masih anak-anak."

Seluruh persiapan untuk membuat api unggun di belakang rumah sudah diselesaikan bahkan sebelum dua sahabat Wonwoo itu datang. Tinggal menyalakan api dan memanggang elangnya.

Mereka memakan daging burung itu dengan suasana sedikit ramai begitu selesai membakarnya. Suara keramaian yang menyaingi suara kayu bakar dimakan api. Mereka menempati tempat duduk di atas gelondongan kayu yang mengitari api unggun.

Hoshi dan Dokyeom bertingkah begitu mesra layaknya pasangan muda umumnya. Tertawa bersama, saling menyuapi, saling memberikan sentuhan, dan berbagai hal. Wonwoo dan Mingyu yang duduk berdampingan itu saling pandang setelah melihat adegan itu. Hanya satu detik, mereka langsung memalingkan lagi wajah mereka. Mereka hanya merasa canggung. Mereka tidak pernah mengumbar kemesraan di hadapan orang lain. Tidak, bahkan meskipun mereka hanya sedang berdua, mereka jarang sekali melakukan interaksi semacam pasangan di depan mereka barusan.

Acara makan malam selesai, dan kedua sahabat Wonwoo yang merasa terlalu kekenyangan itu merasa tidak sanggup untuk berjalan pulang ke rumahnya di pemukiman. Jadi mereka memutuskan untuk menginap dengan menjadikan sofa sebagai tempat tidur.

Dokyeom menyelimuti dan mengecup kening Hoshi. Saling melempar senyum, lalu Hoshi menutup mata setelah keduanya memberi ucapan selamat tidur satu sama lain.

Wonwoo dan Mingyu lagi-lagi harus menyaksikan hal semacam begitu. Mereka sepemikiran saat ini. Bahwa Wonwoo dan Mingyu tidak pernah melakukan hal itu sebelum mereka akan pergi ke alam mimpi. Apakah mereka harus melakukannya mulai sekarang?

.

.

.

Ada sebuah tuntutan. Hoshi dan Dokyeom harus pergi bekerja ke tempat masing-masing. Sehingga pagi-pagi sekali setelah sarapan bersama, mereka sudah pergi dari kediaman Wonwo dan Mingyu.

Wonwoo hendak mencuci piring dan ia mendapati pipa bak cuci itu rusak. Ia lalu mengambil kotak perkakas kesayangannya, mengambil kunci inggris, dan memperbaiki pipa itu.

Tangan ajaib Wonwoo tidak membutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya. Kurang dari setengah jam, ia sudah membuat pipa itu kembali berfungsi seperti semula. Dan ia sudah bisa membersihkan piring-piring kotor yang menumpuk sejak kemarin.

Ia menyelesaikan pekerjaan dengan baik selama tiga puluh menit. Ketika berbalik, ia sedikit terkejut karena tahu-tahu sudah ada Mingyu di sana. Jarak mereka begitu dekat.

"Ada apa?" tanya Wonwoo. Mingyu menunduk, menyejajarkan wajah dengan perut Wonwoo. Sedikit menunduk, Wonwoo memperhatikan apa yang hendak kekasihnya itu lakukan.

"Aku harap kau segera lahir. Siapa tahu bisa mengubah sifat pendiam ibumu." Mingyu mengajak yang berada dalam perut kekasihnya itu berbicara. Ia tersenyum, mengecup perut rata itu, dan kembali menegakkan tubuh.

Secara fisik, Wonwoo memang tidak bisa diam. Tapi tidak dengan mulutnya. Ia tidak banyak bicara. Seakan tidak ada lagi hal yang harus ia bahas bersama kekasihnya.

Wonwoo menyemat senyum untuk pria yang lebih tinggi darinya itu, "Tidak biasanya."

"Kupikir aku harus melakukan itu sekali-kali."

.

.

.

Bersambung

.

.

.

Tentative Emphasis 🏔 Meanie [⏹]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang