5

286 55 15
                                    

Geumsan, 22 Januari 2018

Langit-langit ruangan berwarna putih bersih adalah hal pertama yang Hyunjin lihat saat ia terbangun. Ia menatap sekitar dengan bingung. Hyunjin yakin sekarang ia tidak sedang berada di kamarnya. Ruangan tempat ia berada sekarang lebih sempit dan memiliki langit-langit lebih rendah dari kamar tempat ia tidur dan terbangun setiap hari. Ada selembar selimut berwarna abu-abu yang menutupi tubuhnya. Aroma deterjen yang lembut menguar dari selimut tersebut.

Hyunjin bergerak bangun namun sekujur tubuhnya terasa ngilu. Ia mengernyit kesakitan. Sial. Ia ingat sekarang.

Geng tiga anak laki-laki itu.

Dipukuli.

Dan Kim Seungmin.

Tunggu dulu...

Apa ia sedang berada di rumah Seungmin?

Hyunjin bergegas turun dari tempat tidur. Dimana anak itu? Ia menatap sekeliling dan melihat jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul satu lebih seperempat. Dinilai dari lampu yang menyala terang, saat ini pasti sudah malam.

Dengan langkah sempoyongan, Hyunjin melangkah keluar dari kamar. Tidak ada siapa-siapa lagi. Sepi. Kemana Seungmin pergi? Apa ia sengaja menghindarinya? Atau jangan-jangan ini bukan rumah Seungmin? Tapi siapa lagi yang akan menolong Hyunjin kalau bukan dia?

Saat Hyunjin melihat sepatunya tergeletak di dekat pintu keluar, tanpa pikir panjang ia langsung mengenakannya dan menghambur keluar rumah. Ia berpikir mungkin lebih baik jika ia segera pergi dari sana sebelum bertemu dengan Seungmin. Ia tidak siap. Tidak sekarang. Mungkin agak tidak sopan karena ia belum mengucapkan terimakasih pada Seungmin karena telah menolongnya. Tapi, tidak sekarang. Hyunjin akan berterimakasih padanya di lain waktu, saat ia sudah siap bertatap muka dengannya. Dan ia tahu sekarang bukan waktu yang tepat.

Dinginnya udara malam menyambutnya begitu ia berada di halaman rumah atap milik Seungmin. Semilir angin mempermainkan helaian rambutnya yang jatuh menutupi dahi dan Hyunjin menyibakkannya ke belakang dengan satu sapuan jemarinya. Sekilas ia mendongak ke atas, mencuri pandang ke arah bintang-bintang yang menghiasi langit malam. Selapis awan tipis melintas di depan purnama yang bersinar terang dan bergerak perlahan ke utara. Meskipun sebentar, Hyunjin merasa lebih tenang saat melihat keindahan tersebut.

Hyunjin hendak melangkah pergi dari sana saat sudut matanya menangkap figur sesosok laki-laki yang tengah duduk di tepian atap. Posisinya membelakangi Hyunjin, namun tanpa melihat wajahnya pun Hyunjin tahu siapa laki-laki itu.

Seungmin.

Ia tengah memegang sesuatu yang tampak seperti bunga. Tidak, itu memang bunga. Azalea. Hyunjin bisa tahu karena bunga itu sama persis dengan bunga yang dimasukkan ke dalam tas Seungmin sore tadi. Seberkas sinar rembulan jatuh menyinari tubuh Seungmin dan bunga yang tengah dipegangnya, membuat bunga tersebut tampak lebih jelas di mata Hyunjin. Dan entah mengapa, bunga tersebut tampak lebih cantik saat berada di bawah sinar rembulan seperi itu.

Hyunjin memperhatikan dalam diam saat Seungmin melepas kelopak bunga tersebut satu per satu dan membiarkannya melayang terbawa angin. Samar-samar, Hyunjin mendengar Seungmin bergumam dengan nada sendu setiap kali ia melepas satu kelopak.

Kelopak pertama.

"Terimakasih telah membuatnya datang padaku, Tuhan..."

Kelopak kedua.

"Selama ini, aku selalu berdoa agar ia baik-baik saja..."

Kelopak ketiga.

"Tapi melihatnya seperti tadi membuat hatiku sakit. Tolong, jangan biarkan aku melihatnya seperti itu lagi..."

Kelopak keempat.

"Jaga dia, kumohon..."





Kelompak kelima.





"Jaga dirimu untukku, Hyunjin-ah..."






Hyunjin terkesiap. Apa ia tidak salah dengar? Apa Seungmin baru saja menyebut namanya? Apa artinya itu.....

Ribuan pertanyaan berputar di kepala Hyunjin, ia termenung cukup lama, terpaku menatap sosok Seungmin yang masih membelakanginya. Ia bahkan tidak sadar saat Seungmin bangkit berdiri dan berbalik hingga posisi mereka sekarang saling berhadapan. Mata Seungmin melebar menatapnya. Bibirnya bergerak tapi tidak ada kata yang keluar.

Mereka berdua sama-sama terpaku di tempat. Ada terlalu banyak kata yang ingin terucap. Ada begitu banyak hal yang menyesaki pikiran keduanya. Namun, semua itu berpusat pada satu hal. Persahabatan mereka.

Apa persahabatan itu masih ada? Bahkan setelah apa yang terjadi lima tahun silam?

Hyunjin tidak ingin percaya. Tapi, ia dengan jelas mendengar Seungmin menyebutkan namanya tadi. Apakah itu artinya ... Seungmin masih peduli padanya?

"Maaf...."

Hanya itu kata yang terlontar dari mulut Hyunjin setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya. Ia memutar tumit dan segera berlari pergi dari sana. Ia nyaris tidak merasakan kakinya yang menapak menuruni anak tangga satu demi satu. Pepohonan di kanan-kirinya terasa berkelebat dan mengabur di sudut matanya saat ia berlari seperti orang gila di sepanjang trotoar. Ia bahkan tidak peduli saat sepatunya mulai terasa basah karena terus menerus menginjak gundukan salju yang menumpuk di atas tanah.

Sepanjang perjalanan pulang itu, Hyunjin terus memikirkan kata "maaf" yang ia ucapkan pada Seungmin tadi. Ia tidak yakin untuk apakah lebih tepatnya maksud dari kata itu.

Mungkin maaf karena ia tidak bisa mengalahkan preman-preman itu demi Seungmin.

Mungkin maaf karena ia telah menyusahkan Seungmin malam ini.

Atau mungkin maaf karena ia telah mendengarkan dengan diam-diam apa yang Seungmin katakan tadi.

Mungkin juga....

Maaf karena ia telah membuat Seungmin kehilangan ayah dan kakak perempuannya.






Maafkan aku, Seungmin-ah...



#TBC

Sorry kalo makin absurd aja....

Freeze in BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang