1

495 61 1
                                    

Geumsan, 17 Desember 2017

Hyunjin menatap keluar jendela kamarnya. Langit masih berwarna kelabu. Siluet gerombolan burung gereja yang bertengger di atas kabel listrik tampak berwarna hitam legam, kontras dengan latar semburat jingga menyala yang baru mengintip di kaki cakrawala. Ia melirik jam bundar yang tergantung di dinding dan menghela napas. Baru pukul 05.30. Tidak mungkin ia akan melanjutkan tidurnya setelah mimpi buruk tadi, namun juga masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah. Ia berakhir duduk termenung di kamarnya selama kurang lebih setengah jam. Tidak melakukan apapun. Hanya menatap kosong ke arah gundukan salju yang terhampar di luar, menyaksikan titik-titik air yang membasahi jendela kamar dan menghitung suara detik jam yang memecah keheningan paginya.

Lamunannya buyar saat tiba-tiba saja bel rumahnya berbunyi. Hyunjin tidak segera bangun untuk membuka pintu. Ia berpikir mungkin saja ada orang mabuk yang salah memencet bel. Ibunya juga selalu berpesan padanya untuk tidak membukakan pintu untuk sembarang orang. Nasihat itu sebenarnya nasihat yang lumrah, setiap anak pasti pernah mendengar nasihat itu setidaknya satu kali dalam hidupnya dari orangtua mereka. Namun, Hyunjin mendengarnya hampir setiap hari, setiap malam.

Hyunjin memang tidak tinggal di lingkungan yang layak untuk remaja seusianya. Ia dan ibunya menyewa sebuah apartemen kecil di pinggiran daerah Geumsan, provinsi Chungcheong Selatan saat mereka pindah dari Mokpo tiga tahun silam. Apartemen mereka terletak di lantai dua. Tepat di lantai satu, terdapat sebuah bar yang dijalankan oleh pemilik gedung apartemen tersebut. Setiap malam, bar itu tidak pernah sepi pengunjung. Terkadang Hyunjin masih bisa mendengar samar-samar suara dentuman musik dari bar tersebut hingga pukul setengah lima pagi. Sekitar pukul lima, musik mulai meredup dan digantikan dengan suara-suara berisik di lorong. Kebanyakan berupa suara langkah kaki sempoyongan dari orang-orang yang mabuk setelah semalaman minum di bar, ditingkahi dengan suara denting lift yang terbuka atau suara bel yang dipencet sembarangan baik di apartemennya atau apartemen tetangga. Karena itulah ibunya selalu memperingatkan untuk tidak membuka pintu sembarangan.

"Hyunjin-ah! Hwang Hyunjin!"

Terdengar bunyi bel lagi dan kali ini Hyunjin beranjak dari tempat tidurnya. Itu suara sang ibu. Hyunjin menghela napas kasar. Saat ini hampir pukul 6 pagi dan ibunya baru saja pulang.

Aroma alkhohol yang menyengat menyapa penciuman Hyunjin begitu ia membuka pintu. Berdiri di hadapannya saat ini tak lain dan tak bukan ialah sang ibu yang tengah mabuk berat. Ia tampak berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kedua kelopak matanya tetap terbuka. Usai membuka high heels-nya dan melemparkan tas tangannya ke lantai, wanita itu menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan terlelap seketika. Tali gaun hitam pendeknya yang berkerlap-kerlip tampak melorot sebelah. Rambutnya berantakan dan lipstik merah di bibirnya tampak mengabur dan sedikit melebar ke wajah.

Berapa banyak pria yang sudah diciumnya tadi malam?

Hyunjin mengambil selembar selimut dari kamarnya dan menutupkannya ke tubuh sang ibu dengan sembarangan. Ia kemudian melangkahkan kaki ke arah dapur dan membuka pintu kulkas, hendak membuat sarapan. Namun, tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada beberapa botol air mineral yang sudah kosong dan sebotol saus merah yang entah sudah berapa lama ada di dalam kulkas tersebut.

Itu bukan pemandangan baru bagi Hyunjin. Sejujurnya ia sudah lupa kapan terakhir kali kompor di rumahnya menyala. Ia lebih sering memesan makanan atau memanggang roti. Namun, pagi ini tidak ada apa-apa untuk dipanggang jadi mungkin lebih baik jika ia langsung bersiap ke sekolah saja.

***

Hyunjin melangkahkan kakinya menyusuri jalanan Geumsan yang tertutup salju. Saat itu baru pertengahan bulan Desember dan salju pertama baru turun beberapa hari yang lalu. Namun, derasnya salju yang turun setiap hari membuat hampir setiap titik di daerah itu tertutup hamparan putih salju. Suhu turun dengan drastis namun masih belum mencapai puncaknya. Hyunjin memperkirakan suhu saat ini belum sampai di bawah nol derajat karena jaket hitam yang dikenakannya masih mampu menjaga tubuhnya agar tetap hangat.

Sekolah berakhir setengah jam yang lalu dan entah mengapa hari ini ia lebih memilih pulang dengan berjalan kaki daripada naik bus. Ia memotong jalan melewati daerah sepi  dengan jalanan yang lengang. Hyunjin sempat melintas di depan jalan masuk pendakian menuju Gunung  Manin namun dengan cuaca buruk seperti itu membuat tidak seorang pendaki pun yang terlihat batang hidungnya di sekitar sana.

Hyunjin menarik tudung jaketnya hingga menutupi kepala dan membenamkan kedua tangannya di saku celana seraya mempercepat langkahnya. Ia baru saja berbelok di sudut jalan saat tiba-tiba saja pandangannya bertemu dengan sesosok laki-laki yang berdiri di balik meja kasir di dalam toko bunga yang terletak tepat di seberang jalan. Laki-laki itu tampak seusia dengannya. Tinggi mereka hampir sama dan laki-laki itu mengecat rambutnya dengan warna merah gelap. Ia mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan celana jeans panjang. Samar-samar Hyunjin melihat sebuah benda kecil berbentuk persegi mengkilap yang tersemat di dada laki-laki itu. Mungkin tanda pengenalnya. Ia pasti bekerja di toko bunga tersebut.

Hyunjin membeku begitu mata mereka bertemu. Wajah itu ... tatapan itu ... Hyunjin masih mengingatnya dengan jelas. Meskipun lima tahun sudah berlalu tidak banyak yang berubah darinya. Ia hanya terlihat lebih dewasa secara fisik. Namun Hyunjin masih bisa mengenalinya dengan mudah. Karena sosok itu yang selalu muncul di mimpinya setiap malam. Sosok itu yang selalu ia dengar suaranya setiap malam, menjerit dengan ketakutan dan putus asa.



Kim Seungmin.


#TBC

Freeze in BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang