Chapter 5 - Kejutan-Kejutan

917 119 10
                                    

Rumah itu tidak terlihat seperti rumah berpenghuni. Itulah kesan pertama yang muncul di pikiran mereka berdua. Tak ada penerangan, membuatnya tampak samar-samar di tengah hutan yang gelap. Platina mengamati rumah itu dengan seksama. Atapnya terbuat dari kayu, begitu pula dindingnya, kesannya justru seperti pondok kayu di pegunungan yang biasa teman-temannya sewa ketika liburan tiba. Rasa sedih sedikit merasuki hatinya. Ia takut tidak bisa kembali bertemu teman-temannya.

Aren menepuk bahu Platina. Platina tersadar dari lamunannya. Setidaknya aku masih bersama Aren, pikirnya menghibur diri.

Aren mengetuk pintu rumah. Satu kali, dua kali, tidak ada jawaban.

"Permisi. Kami datang dari jauh, bolehkah kami menginap di sini?" teriak Aren sambil mengetuk untuk yang ketiga kalinya. Hening. Tidak ada jawaban yang terdengar dari dalam. Aren menoleh ke arah Platina meminta saran.

Platina mengernyit berpikir. "Mungkin memang tidak ada orang di sini setelah sekian lama. Aku melihat sarang laba-laba tebal di jendelanya begitu juga di pilar ini. Lantai kayunya terlihat sangat tidak terawat. Kita beruntung kalau atap rumah ini tidak roboh menimpa kita."

"Aku setuju," kata Aren. "Baiklah, kita coba masuk saja. Aku tidak ingin berada di luar malam-malam."

Aren mencoba membuka pintu. Pintu itu perlahan terbuka dengan suara berderit. Aren melongok ke dalam dan langsung terserang bau pengap debu tebal. Ia terbatuk-batuk sedikit dan memberi isyarat pada Platina untuk masuk mengikutinya. Di dalam sangat gelap. Mereka terdiam sebentar untuk menyesuaikan mata dengan kegelapan.

Aren berjalan maju terlebih dulu untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai sumber penerangan. Jelas tidak ada lampu di sini karena rumah ini ada di tengah hutan. Ia menemukan beberapa lentera yang berbentuk seperti lampu minyak. Ia meraba-raba dalam gelap tetapi tidak bisa menemukan lilin atau korek.

"Aku tidak menemukan korek di sini," keluh Aren. Ia sudah sampai ujung ruangan yang mereka masuki.

"Semakin gelap di luar. Aku harap ada api menyala di lentera itu," kata Platina. Tiba-tiba saja, ruangan itu menjadi terang oleh nyala api dalam lentera-lentera yang Aren temukan.

Aren membelalak keheranan. "Apa yang kau lakukan, Pat?"

"Apa? Aku tidak tahu. Kau lihat sendiri aku tetap berdiri di sini dari tadi," kata Platina kebingungan.

Mereka berdua menatap nyala api yang bergoyang menerangi ruangan. Api itu memunculkan siluet bayangan gelap mereka di dinding.

"Ini jadi semakin aneh, aku tidak mengerti," kata Aren menggelengkan kepala sambil maju dan mengambil satu lentera di atas meja di dekatnya.

Mereka mengamati ruangan itu. Sepertinya itu adalah ruang santai karena terdapat sofa-sofa dengan bantal tebal berdebu yang berantakan di tengah ruangan. Ada perapian menempel di dinding terjauh ruangan dengan sisa-sisa abu putih bercampur debu. Meja-meja kecil jatuh berserakan. Laci-laci berada di luar rak dan isinya bertebaran di lantai. Tidak ada satu pun foto yang terpajang di ruangan ini.

Platina mengambil salah satu kertas yang jatuh dan membolak-baliknya. "Sepertinya ada yang terburu-buru mencari sesuatu," tebak Platina. "Oh, kertas ini berbeda dengan kertas kita. Ini lebih tebal dan lebih kuning. Mungkinkah ini yang disebut perkamen?"

Aren mengambil kertas yang diserahkan Platina kepadanya. "Hmm, mungkin saja," katanya lambat-lambat. "Sebenarnya kita ada di zaman apa, sih?"

Platina tersenyum bersemangat. "Entahlah, tetapi aku cukup senang bisa tahu bentuk perkamen. Aku cuma pernah membayangkannya melalui novel yang kubaca selama ini," kata Platina. "Astaga, benarkah ini dunia fiksi? Apa nama dunia ini ya? Oh, hei, Aren, kau mau ke mana?"

Para Pendatang (The Outsiders)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang