Chapter 11 - Usai Pertempuran

540 89 3
                                    

Raja Devon mengerutkan kening memikirkan pertempuran yang baru saja terjadi. Ia memakai baju perang lengkap yang terbuat dari besi dan baja. Pedangnya—yang berlumuran darah—dititipkan pada orang kepercayaannya untuk langsung dibersihkan agar tidak berkarat. Jari-jarinya mengatup perlahan sembari pikirannya bekerja. Ia menopangkan dagu di tangan ketika pintu aula membuka dan melihat tiga remaja berjalan masuk lalu memberi hormat padanya. Ia membalas hormat itu dengan anggukkan yang pantas.

"Platina, Aren, dan Ruby, terima kasih telah datang. Aku tahu kalian pasti bertanya-tanya alasan kalian dibawa ke sini. Aku akan menjelaskannya nanti. Sebelum itu mari duduk dan makan malam bersamaku."

Raja Devon memimpin mereka menaiki tangga lengkung besar ke lantai dua dan masuk ke sebuah ruangan makan. Di ruangan itu terdapat meja panjang besar dan kursi yang mengelilinginya. Puluhan obor dan lilin dinyalakan untuk menerangi ruangan itu. Raja Devon duduk di kursi yang paling ujung dan tiga remaja tadi duduk di samping kanan dan kirinya. Segera setelah mereka duduk, makan malam dihidangkan, yang terdiri dari daging rusa panggang, kentang tumbuk dengan sayur-sayuran, beberapa bongkah roti besar, dan jagung rebus. Minuman dituangkan ke gelas masing-masing. Aren menatap curiga cairan ungu yang mengalir masuk dari teko kayu ke gelasnya.

"Silakan makan," ujar Raja Devon. Ia mengambil sepotong roti dan mengiris daging di piringnya.

Aren mengambil beberapa sendok kentang tumbuk sambil berpikir. Raja Devon pasti menemukan sesuatu yang penting karena mereka diminta datang ke sini sesaat setelah pertempuran selesai. Ruby menjemput mereka di rumah Platina dan bergegas ke aula bersama-sama. Aren memerhatikan wajah Ruby yang terlihat lelah. Perempuan itu sedang mengunyah dagingnya dengan cepat. Ruby tidak mengalami luka yang serius. Hanya beberapa sayatan di lengan—yang sekarang sudah diperban—dan memar.

"Aku ingin membicarakan beberapa hal dengan kalian," ujar Raja Devon setelah suapan terakhir mereka semua sudah ditelan. "Pertempuran tadi benar-benar mengejutkan. Belum pernah ada yang berhasil menembus ilusi kami sejak Carmine didirikan. Musuh yang datang tadi adalah prajurit utusan Nero yang diperintah untuk menghancurkan Carmine. Setelah sekian lama ia membiarkan kami hidup, mungkin ini saatnya ia menjadi serius untuk memusnahkan kami."

Platina dan Aren mendengar penjelasan Raja Devon dengan perasaan khawatir.

"Bagaimana mereka bisa menembus ilusi yang melindungi Carmine? Lagipula, tidakkah jumlah prajurit mereka terlalu sedikit untuk menghabisi kita semua di sini?" tanya Platina.

"Itulah tanda kesombongan Nero. Ia merasa cukup mengirimkan sepasukan prajurit untuk menghabisi kita tanpa tahu bahwa kita telah lama berlatih melindungi diri. Ia pikir kami masih lemah seperti dulu ketika ia hancurkan kami di Kota Aglaia," jawab Raja Devon. Ia mengangkat botol kaca kecil berwarna hijau tua agar mereka bisa melihatnya. "Salah satu pejuang kami menemukan ini," lanjutnya, "menurut penyihir yang tinggal di sini, botol ini berisi cairan yang telah diberi mantra untuk mematahkan ilusi yang menyembunyikan Carmine. Sepertinya, setiap prajurit telah meminum sekitar setetes dari cairan ini sehingga mereka bisa menemukan Carmine."

Aren mengangguk mengerti. "Sihir dilawan dengan sihir. Apakah ini berarti Raja Nero sudah mengetahui letak Carmine?" tanyanya.

Raja Devon menggeleng. "Belum. Kami membunuh semua prajuritnya yang masuk ke sini agar tidak ada yang bisa memberikan informasi keberadaan Carmine pada Nero," jawab Raja Devon. "Selain itu, para penyihir sedang membangun ilusi baru yang lebih kuat sekarang. Aku berharap ilusi ini akan sulit ditembus apabila Nero mengirimkan lagi pasukannya. Untuk saat ini, Carmine masih aman."

Ruby meminum cairan—yang ada di gelasnya—banyak-banyak. Aren mengernyit melihatnya. Ia merasa takut meminum cairan berwarna ungu aneh di gelasnya. Melihat Ruby tetap sadar dan utuh setelah meminumnya, Aren jadi penasaran. Ia mencoba menyeruput sedikit cairan itu dan menelannya. Rasanya aneh—sesuai dugaan Aren—tetapi enak. Aroma buah memenuhi kerongkongannya disertai sensasi dingin yang mampu menyegarkan pikirannya. Ia kembali mengangkat gelas ke mulutnya dan meminum cairan itu sampai habis. Sesaat kemudian, Aren bergidik dengan rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Raja Devon tertawa melihat Aren yang sedang meminta gelasnya diisi kembali. "Aku lihat kau menyukai minuman buatan kami. Namanya Fruint. Kami biasa meminum ini apabila kelelahan karena mampu menyegarkan pikiran."

Aren mengangguk sambil mengangkat gelas ke mulutnya dan menenggak habis cairan di dalamnya.

"Raja, sepertinya kita harus segera memberikan pelatihan kepada Platina dan Aren. Kejadian seperti ini bisa memburuk dan mereka harus bisa melindungi diri," saran Ruby.

"Ah, benar, pelatihan kalian berdua," kata Raja Devon seraya mengangguk sambil menunjuk Platina dan Aren. "Kalian bisa berlatih senjata besok pagi. Selain itu, aku sarankan kalian menemui penyihir di sini untuk mengetahui bakat kalian dalam menggunakan sihir. Aku akan menulis pesan malam ini pada pelatih senjata kalian dan juga si penyihir."

Platina dan Aren mengangguk bersemangat.

"Terima kasih, Raja," sahut Platina senang.

"Baiklah, sekarang aku akan membicarakan hal lain. Saat tadi aku bertempur, aku berhasil menusukkan pedangku ke salah satu komandan musuh. Sebelum ia mati, aku bertanya padanya tentang tujuan mereka datang ke sini. Dengan suara pelan karena sekarat, ia menjawab bahwa ia diperintah untuk menghancurkan Carmine dan membawa para pendatang bersamanya. Belum sempat aku menanyakan lebih lanjut, ia sudah mati kehabisan darah," kata Raja Devon.

"Aku tidak mengerti bagaimana Nero bisa tahu perkataan Seleca. Mungkin, ia hanya mengira-ngira dari isu yang beredar. Namun, yang penting, pasukan itu sudah mati dan tidak dapat membawa kalian ke hadapan Nero." Raja Devon menenangkan ketiga remaja di depannya yang terlihat panik karena diinginkan oleh penjahat paling keji di Algaria.

"Bagaimana Raja Nero tahu bahwa kami berada di Carmine?" tanya Platina gugup.

Raja Devon menggelengkan kepala. "Aku pun sedang mencari tahu jawabannya," ujarnya lambat-lambat seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kurasa, kalian harus pergi ke tempat tinggal para penyihir. Kalian bisa bertemu Seleca dan bertanya padanya. Ia adalah penyihir yang sangat tua dan bijaksana."

Ketiga remaja itu mengangguk setuju.

"Kalian tidak perlu terlalu cemas. Biar aku saja yang mengatur semuanya. Kalian masih aman di sini," kata Raja Devon. "Sekarang, beristirahatlah. Besok pagi, langsung saja datang ke lapangan tempat latihan. Pelatih kalian akan menunggu di sana."

Ketiga remaja itu berdiri dan memberi hormat para Raja Devon. Kemudian, mereka berjalan ke luar ruang makan menuju aula. Malam sudah datang sepenuhnya. Cahaya bulan samar-samar masuk melalui jendela aula. Mereka bergegas ke luar dari aula dan berlari menuju rumah mereka tanpa saling bicara. Segala macam teori dan bayangan memenuhi benak mereka masing-masing, seakan menari menikmati betapa resahnya mereka saat ini.


Para Pendatang (The Outsiders)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang