Aren menatap nanar pemandangan di depannya. Tangannya terkepal erat. Ia menutup hidung untuk menghalangi bau busuk yang memuakkan. Tidak terpikirkan olehnya, bahwa bau yang terhirup di perjalanan tadi, berasal dari tubuh-tubuh manusia yang berserakan di dataran gersang.
"Apa-apaan ini?" desis Flavian.
Mereka telah sampai di sebuah desa kecil. Pintu gerbang desa itu hanya terbuat dari kayu yang dulunya disusun serampangan tetapi sekarang, gerbang tersebut telah hancur berantakan. Kayu-kayunya terkoyak dengan ganas. Serpihan kayu bertebaran di jalan masuk yang terbuka, menampakkan bagian dalam desa yang membuat rombongan itu berdiri terpaku.
Eryl berjalan masuk dengan tatapan tajam. Matanya mengamati setiap rumah di depannya. Ia berusaha menemukan satu gerakan tak wajar yang mampu membahayakan mereka. Suasana desa itu hening. Bau busuk menyeruak dari berbagai arah. Eryl melewati beberapa mayat pria yang sudah dihinggapi makhluk-makhluk kecil bersayap.
Aren mengernyit ngeri saat mengikuti Eryl, begitu juga dengan Platina di sebelahnya. Wajah Ruby kaku. Corby menggelengkan kepala sedih. Si kembar berpisah jalan untuk mengelilingi desa, mencari tahu penyebab hilangnya semua jiwa dari tubuh yang tergeletak itu.
Xavier berjalan di sebelah Eryl sambil menghunus pedang. Awra melompat turun dengan ringan lalu melompat kecil dari mayat ke mayat sembari memerhatikan mereka satu per satu. Ia tampak tidak terganggu dengan adanya puluhan mayat yang sudah membusuk.
"Perbuatan siapa ini?" tanya Flavian tanpa mengalihkan pandangan dari tubuh seorang anak yang mati sambil menggenggam pisau. Bola mata anak itu sudah tidak pada tempatnya, hilang, mungkin ditelan burung-burung pemakan bangkai.
Platina berusaha keras untuk tidak muntah saat itu. Bau kematian sungguh menyengat, ditambah dengan hawa panas dan angin semilir yang terus menyampaikan aroma itu ke mana pun angin pergi. Platina bergidik melihat Awra yang dengan santai melompat-lompat ringan seperti anak kecil yang sedang bermain di taman. Ia memandang setiap mayat yang dilewatinya. Salah satu pemuda tergeletak dengan leher terbuka, digorok tanpa ampun sampai hampir putus. Pemuda yang lain memiliki banyak panah menancap di dada. Seorang lelaki paruh baya tewas dengan tangan dan kaki terpotong, menyisakan badannya yang memiliki perut tambun. Walaupun mereka semua memiliki cara kematian yang berbeda, satu hal yang pasti, mereka semua mati dalam keadaan tersiksa.
"Kita tanya saja pada mereka," ucap Xavier. "Keluarlah kalian. Kami bukan orang jahat. Kami hanya pengelana yang ingin meminta bantuan dari kalian." Xavier berseru dengan lantang ke arah rumah-rumah penduduk.
Aren tidak paham kepada siapa Xavier berbicara. Ia penasaran apakah masih ada penduduk yang tersisa dari pembantaian ini. Hatinya terasa panas. Emosinya naik ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan. Untuk sesaat, tidak ada yang bergeming dari balik rumah-rumah. Tak ada pula suara yang mereka dengar.
Aren mendadak mendapat ide. Ia mengambil napas kemudian berseru, "Tidak apa-apa. Kami hanya butuh mengisi perbekalan makanan dan air. Setelah itu, kami akan membantu kalian."
Eryl menoleh tajam pada Aren yang tidak membalas pandangannya. "Jangan sembarangan menawarkan bantuan."
"Kami akan membantu apa pun yang kalian butuhkan," teriak Aren. Ia membalas tatapan Eryl dan Xavier dengan cengiran. "Kita harus saling menolong, kan?" tambahnya berbisik kepada Platina dan Ruby yang dijawab dengan sorot mata khawatir.
Sekelebat bayangan muncul dari salah satu jendela. Bayangan itu melongokkan kepala sedikit lalu bergegas menariknya kembali.
"Letakkan senjata kalian di tanah," seru suara wanita dari dalam rumah paling depan. "Atau kalian pergi dari desa kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Pendatang (The Outsiders)
Fantasy~Ketika tangan takdir merengkuh, yang bisa kau pegang hanyalah harapan~ Platina dan Aren adalah teman sejak kecil yang selalu berharap bisa pergi dari dunia nyata dan bertualang di dunia fiksi. Harapan ini perlahan memudar ketika mereka beranjak dew...