Chapter 13 - Teman

532 76 3
                                    

Pisau belati kecil melesat dan menancap tepat di jantung tumpukan jerami yang berbentuk seperti manusia. Sesaat kemudian tiga pisau belati lain ikut menancap, masing-masing di kepala, leher, dan perut jerami itu. Corby tersenyum lebar melihat hasil lemparannya tepat mengenai sasaran yang diinginkannya. Ia berlari ke arah sasaran jerami—yang berjarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri—untuk mengambil belatinya. Ia memandang langit yang mulai berubah warna menjadi oranye dengan semburat biru tua.

Suara ranting dan daun-daun kering yang terinjak, membuat Corby menoleh ke arah pepohonan tempat Lunette tinggal. Platina dan Aren berjalan ke arahnya dari rumah Lunette.

"Hebat sekali lemparanmu," seru Aren tertarik.

Mereka mendekati Corby yang sekarang sudah mengambil semua pisaunya. Platina memandang pisau-pisau yang ada di tangan Corby dengan penasaran. Pisau belati itu berukuran sepanjang telapak tangan. Pegangannya yang pendek terbuat dari kayu berukir.

"Latihan," ujar Corby nyengir lebar. "Tidak banyak yang bisa melempar pisau ini seperti yang kulakukan tadi."

"Kau tetap saja bermulut besar, Corby," sahut sebuah suara laki-laki yang muncul dari bukit. Ia berjalan ke arah mereka bersama dengan seorang perempuan di sebelahnya. "Hai, kalian pasti Platina dan Aren," ujarnya dengan nada angkuh.

Pria ini pasti lebih mengesalkan daripada Aren, batin Platina.

Laki-laki itu mendekati mereka dengan senyum menyebalkan yang menghiasi wajahnya. Ia memiliki rambut berwarna berwarna kuning pirang yang berkilau terkena sinar matahari. Bola matanya cokelat, hidungnya mancung, wajahnya putih bersih, dan secara keseluruhan cukup tampan. Umurnya tampak sebaya dengan Corby. Ia menyandang sebuah pedang di pinggangnya.

"Namaku Flavian. Ini adikku, Grizelda," kata laki-laki berambut pirang itu sambil menunjuk perempuan di sebelahnya. Grizelda bahkan tidak tersenyum ketika diperkenalkan. Sikapnya yang angkuh terlihat cocok dengan kakaknya. Ia memiliki rambut pendek berwarna hitam. Umurnya yang terlihat lebih muda daripada Platina, membuat Platina makin kesal melihat perilakunya.

"Sedang apa kalian di sini? Si penyihir tidak suka melihat orang lain berada di tanahnya selain orang-orang yang ia izinkan," kata Corby ketus.

"Wah, ini kan masih taman milik Raja, siapa pun boleh ke sini," jawab Flavian santai sambil menatap Corby yang memiliki tinggi setara. "Kau sendiri sedang apa? Tidakkah kau diperintah untuk mengirimkan pesan lagi?"

Corby melangkah maju mendekati Flavian sehingga jarak mereka sekarang sangat dekat dan hanya bisa memandang mata lawan bicaranya. "Sudah selesai. Tidak ada yang pernah diberi kepercayaan penuh oleh Raja selain aku tanpa mengecewakannya," jawab Corby sinis sambil mengedikkan kepalanya.

Flavian mengernyit kesal dan menoleh pada Aren. "Aku tahu kalian sudah mendapat latihan pedang tadi pagi," ujarnya mengalihkan pembicaraan sambil melangkah mendekati Aren. "Ayo, kita coba kemampuanmu, Aren. Sebagai orang baru yang mencari perlindungan di sini, seharusnya kalian bisa berguna, bukan hanya menumpang di Carmine," lanjutnya sambil menoleh pada Platina dengan pandangan meremehkan.

Aren dan Platina saling memandang. Perkataan Flavian tadi menandakan bahwa ia tidak tahu kalau mereka berdua adalah pendatang dari dunia luar. Rupanya kedatangan kami masih dirahasiakan, batin Aren.

Grizelda menyerahkan dua pedang kayu yang sedari tadi dibawanya. Flavian menyerahkan pedang aslinya pada Grizelda untuk dijaga. Anak perempuan itu memeluk pedang kakaknya dengan erat seakan ada yang ingin mencurinya. Aren mengambil pedang kayu yang disodorkan Flavian padanya. Emosinya sudah tersulut sejak awal kemunculan Flavian yang tidak menyenangkan. Platina ingin menghentikan mereka tetapi bahunya ditahan oleh Corby yang menggeleng pelan.

Para Pendatang (The Outsiders)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang