3 • Berantakan

49 15 9
                                    

Sabi hela nafas sambil memainkan ponsel dengan bolak-balik mengscroll layarnya yang tak ada satupun notifikasi.

Keliatan kan gabutnya.

Namanya juga cewek!!

"Ngpain lu liatin gua?" tanya Sabi sok galak yang membuat Jelo mengalihkan tatapannya ke arah lain.

Jelo pergi melengos ke luar kelas, membuat Sabi memperhatikan gerak langkah cowok jangkung itu.

"Gajelas lu." ujar Sabi.


Padahal Sabi yang lagi PMS, kenapa Jelo yang sentimen sih.


Lagian juga ngapain sih harus mikirin sikap Jelo.


Jelo aja bukan siapa-siapanya ngapain harus dipeduliin.


Tapi nggak biasanya Jelo bersikap seperti ini.


Itu cowok masuk lagi ke dalam kelas sambil membawa jus alpukat yang diatasnya ditaburi keju dan marshmellow.

Ia memberikan jus itu kepada Sabi.

Sabi menoleh, "Apaan ni."

"Ya lu bisa liat kan itu apaan." jawabnya sambil duduk didepan dan memunggungi Sabi.

Yana bedehem pelan dengan tatapannya yang masih berada di layar ponselnya.

"Minum tuh. Abisin." ujar cowok itu dingin.

Yana menyenggol lengan Sabi, "Sejak kapan Kapten Futsal jadi menye-menye gitu sih Bi?"

Jelo memberi tatapan dinginnnya kepada Yana. Cowok ini seperti bunglon, kadang baik, barbar, bahkan bisa menjadi dingin secara tiba-tiba.

Audi datang bersamaan dengan Nady, dan Ari. "Eh lu tau ga sih, IPB tuh lagi buka usmi, pendaftaran sekolah vokasinya. Daftar yuk." ajak Audi yang datang dengan membawa beberapa Formulir IPB tersebut.

Sabi senang, dan sangat excited untuk mengambil satu formulir yang berada di tangan Audi, "Gua harus ngerayu Ibu dulu nih."

"Tapi nanti transfer juga buat biaya pendaftaran nya, Di?" tanya Yana sambil melihat lembar demi lembar formulir tersebut.

Mely menghampiri mereka dan melihat lihat formulir yang berada di tangan Audi, "Ini pake tes mata, kesehatan, belum lagi dokumennya. Banyak bet daahhhh."

"Lu mah emang ga niat daftar kali, Mel." Ari melirik Mely sinis.

Mely mendengus, "Ini d3 sih ya, jadi gua mikir-mikir dulu."

"Ya namanya rezeki orang mah nggak ada yang tau." ujar Yana.

"Apaan nih? Formulir IPB bukan? Ahh gua mau dong satu." Reisa mengambil satu formulir terakhir yang berada di tangan Audi.

Audi tersenyum senang karena ada yang mau daftar juga bersamaan dengannya. Jadi setidaknya ia mempunyai teman walaupun tidak ada yang tau hasilnya.

Sedangkan Jelo?

Ia hanya diam duduk di depan Sabi sambil memasang raut wajah menyebalkannya.

🐻

Setelah jam sekolah telah usai, Sabi pulang dengan perasaan yang senang. Ia sangat berniat mendaftarkan dirinya ke sebuah kampus ternama di Indonesia tersebut.

"Ibuuuuuu." panggilnya ke sepenjuru rumah.

Ibunya pun menghampiri, "Harusnya mah salam dulu yaampun, ini pake gogorowokan¹  segala."

(¹ gogorowokan = teriak-teriakan)

Sabi mendudukan diri di sebuah sofa yang terletak di depan televisi, "Bii mau daftar vokasi IPB bu, boleh ya?"

"Nyarinya yang S1 aja deh Bii, d3 tuh nanggung."

"Bu, kalo Bii udah lulus d3 kan langsung kerja, lumayan penghasilan nya, terus Bii bakal kuliah lagi kok."

"Enggak, pokoknya fokus aja sama SNM!! lagian juga kamu udah daftar SNM kan!"

"Please bu, kali ini aja. Nyoba doang, siapa tau Sabi beruntung."

Ibu pun diam saja sambil menonton suatu acara gosip di televisi nya.

"Bu, seengganya Sabi punya cadangan. Ngga cuma ngandelin SNM doang! Lagian kan Sabi juga yang kuliah dan kebetulan vokasi IPB ada jurusan komunikasi yang cocok buat Sabi."

"Hmmmm."


Nyesek ga sih, nanya dijawab cuma begitu.




Mau marah, tapi ngga boleh,




takut durhaka.





Untung aja Ibu sendiri :)





Sabar Bi, gaboleh ngumpat.




"Kalo Sabi lolos juga Ibu yang seneng, terus ngenalin ke temen Ibu, 'eh ini anak ku, udah diterima di IPB, jurusan komunikasi'.. pasti bisa dibanggain." celoteh Sabi.

Ibunya tetap saja tidak merespon.

"Ibu sendiri kan yang bilang, aku harus nyoba daftar semuanya. Tapi di salah satu kampus ternama di Indonesia, Ibu malah gini. Aku minta daftarin malah ngga direspon. Nyaraninnya yang ngga aku mau. Yang bukan bidang Aku. Yang ngga ku suka. Bu, ini tuh minat aku. Ibu cuma ngarahin, jangan malah bikin aku bingung sama passion aku sendiri. Aku tau ibu respect, tapi please kali ini bu. Aku tau cara ngebuat Ibu bangga. Masa anaknya pake jas kebanggaan universitas yang ada di kota hujan itu, Ibu nggak suka." Sabi mengungkap kan isi hatinya kepada Ibunya.

"Bukannya Ibu ngga setuju, tapi itu cuma d3, nanggung, kalo mau nyarinya yang sarjana. Ibu dulu juga gitu, lulusan UNS, masa kamu SNM ngambil keguruan aja nggak lolos, kebangetan." ujar Ibu.




Jleb.



Nusuk.


Sangat Dalem ke hati.


Ibu selalu membandingkan dirinya dulu dengan Sabi yang sekarang.

Sabi hanya bisa menangis, dirinya tidak tau harus bilang apa kepada Ibunya.

Gerak ruangnya terbatas karena tuntutan Ibunya,

Hanya karena Ibu ingin ia menjadi penerus, bekerja sebagai guru, mengabdi pada negara, memberi ilmu kepada anak negeri, mengajar dengan setulus hati.

Memang itu mulia, tapi Sabi ingin dirinya yang tentukan masa depan nya sendiri.

Sabi dituntut mengikuti jejak Ibunya, kalau ditanya alasannya pasti Ibu selalu berkata karena Ibu yang akan membiayakan biaya semesterannya, atau karena Ibu yang takut jika Sabi sia-sia mendaftar dan ujungnya tidak lolos.

"Bu, inget. Aku udah usaha. Aku punya mimpi, dan aku percaya usaha nggak akan ngehianatin hasilnya. Aku bakal buktiin ke Ibu!" Sabi pun pergi ke kamarnya dan menutup rapat kamarnya disertai bantingan yang kencang pada pintunya, dan tangisannya pun pecah.



Mood nya sangat berubah.


Emosinya sudah tak tertahan lagi.



Harinya berantakan.



Hatinya kacau.




Harus apakah Sabi sekarang?

🐻

Jelo ngapa sih?

Kasian Sabi ku.

Makasih banget loh yg udah baca💙

pokoknya harus staytune sama Claire!

salam.
vira.anin

CLAIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang