"Udah gue bilangin berapa kali, lu masih ngeyel ga mau. Lihat sekarang Vano jadi korban, sebenarnya apa yang ada dipikiran lu sekarang?"
Aku menunduk tidak berniat untuk menjawab karena sekarang aku sedang dalam keadaan bingung. Bang Rafly terus saja mengoceh yang mmebuatku semakin kacau.
Sekarang aku sedang berada di Rumah Sakit bersama bang Rafly. Mengingat kejadian tadi, hampir saja Andra ku bunuh kembali. Namun ia sempat kabur melompati pagar belakang sekolah. Memang sangat licik, seharusnya aku sudah membunuhnya terlebih dulu.
Semua ini harus ku laporkan, harus. Aku takut Wina yang akan menjadi korban, tekad ku sudah bulat bahwa aku harus bilang semuanya ke Wina.
Ditengah tengah pikiran kacau, orang tua Vano yang sudah bang Rafly hubungi terlihat berlari ke arah ruang UGD yang masih tertutup.
Wanita yang mulai menua itu meneteskan air matanya ketika melihat anaknya dikaca jendela ruang UGD. Kemudian, ia menatap ke arah ku lalu berjalan mendekati.
"Kamu Aira?" tanyanya dengan tatapan yang tidak bisa ditebak.
Aku menggenggam erat ujung seragamku, lalu menjawab dengan terbata bata. "I.. Iya,"
"Kamu tau Vano adalah anak satu satunya yang kami punya?"
Pertanyaan itu mampu ku tebak bahwa mereka tidak ingin kehilangan Vano, aku meneguk slavina ku lalu mengangguk pelan yang artinya aku mengetahui itu padahal sebenarnya aku tidak tau sama sekali.
Ku lirik sekilas lelaki tua yang masih setia menunggu didepan pintu UGD, mimiknya memperlihatkan bahwa ia sangat khawatir kepada anaknya.
"LALU KENAPA TIDAK KAMU SAJA YANG BERADA DI UGD ITU? KENAPA HARUS ANAK SAYA?!!"
Aku tersentak ketika kedua tangan wanita itu menarik paksa kerah seragamku, ia bahkan mengguncangkan tubuhku hingga kepalaku terbentur tembok belakang.
Aku tidak bisa melawan, apalagi melawan orang tua yang hampir kehilangan anaknya karena ulahku. Benar apa yang dikatakan wanita itu, seharusnya aku saja yang berada diruangan itu bukannya Vano.
Bang Rafly dan Ayahnya Vano berusaha memisahkan aku dengan Ibunya Vano. Aku tidak mampu lagi bergerak ketika kedua tangan milik wanita itu berubah menjadi cengkraman dileherku. Sebelum aku benar benar mati karena tercekik, aku sempat mengutarkan ucapan dengan sangat berat, "M..ma..maaf,"
Aku terbatuk batuk setelah cengkraman itu mampu dilepaskan bang Rafly dan Ayahnya Vano, nafasku terengah engah karena hampir saja mati. Tenggorokanku sangat sakit akibat cengkraman itu, dia hampir saja membunuhku. Tubuhku lemas dan lunglai terduduk kelantai, mataku tidak mampu lagi menopang air mata yang sedari tadi ku tahan.
Sedangkan wanita itu tidak henti hentinya berteriak dan bersumpah kepadaku, aku hanya pasrah sambil menangis. Bang Rafly membantuku untuk kembali berdiri dan Ayah Vano berusaha menahan istrinya yang sedang dikelabui amarah yang sangat tinggi.
Aku melangkahkan kakiku untuk pulang ketika wanita itu berteriak menyuruhku pulang. Aku berniat ingin bersalaman namun bang Rafly menahan takutnya ibunya Vano kembali berulah.
Aku melihat bang Rafly berpamitan dengan mencium punggung tangan kedua orang tua Vano, "Nanti Rafly kesini lagi," ucapnya.
Ku lihat ayah Vano tersenyum dan mengangguk, sedangkan Ibu Vano berucap dengan kata kata menusuk kepadaku "Nanti kesini jangan bawa adikmu,"
Tidak mampu lagi menahan tangis yang ingin pecah, aku berlari lebih dulu keluar Rumah Sakit disusul oleh bang Rafly ke tempat parkir, kemudian kami pulang menuju rumah. Sebenarnya ini masih jam sekolah, namun bang Rafly ingin aku beristirahat dirumah sedangkan dia akan kembali ke sekolah sekalian mengizinkan ku untuk tidak masuk sekolah.
***
Aku berniat memainkan handphone sambil rebahan karena begitu bosan didalam kamar, dirumah juga sepi tidak ada orang selain mbak Lirah. Tas ransel ku tertinggal didalam kelas, untung saja handphone ku berada disaku.
Ku buka Aplikasi berwarna hijau, dan melihat sekilas pesan dari Wina yang berjumlah lumayan banyak, namun ku abaikan sebentar karena ingin mengirimkan pesan terlebih dulu kepada bang Rafly untuk meminta membawakan tas ransel ku dikelas.
Setelah pesan itu terkirim, aku berniat ingin membalas pesan Wina namun tidak jadi karena ada panggilan masuk tanpa nama. Aku bingung namun tetap mengangkatnya siapa tau itu ayah ibu atau ada hal yang penting.
Setelah ku letakan handphone itu ke telinga, aku mengucapkan kata sapaan terlebih dulu "Hallo,"
"Kalo lu tutup mulut, Wina akan selamat."
Aku tersontak ketika mendangar kalimat itu sampai sampai dengan refleks tubuhku tiba tiba bangun mengubah posisinya menjadi duduk. "Maksud lu apa? Gue ga bisa diam aja kalo lu hampir mau bunuh gue,"
Aku tau betul itu adalah Andra, memang satu sekolah belum tau semua kronologi lengkap tentang cerita pisau tertancap diperut Vano pagi tadi. Mereka hanya tau bahwa Vano menjadi korban, namun masih belum mengetahui siapa pelaku dibalik dalang tersebut.
Jika saja Andra tadi tidak kabur, mereka sudah mengetahuinya. Namun keberuntungan memihak kepada Andra, dia selamat. Sekarang entah dia sedang berada dimana, aku tidak peduli sama sekali.
"Tapi ga sempat bunuh kan? Yaudah selamat,"
Benar benar gila, dia meremehkan masalah sebesar ini? Sungguh tidak ada adab sama sekali. Aku yakin jika ku laporkan kepada pihak sekolah, semuanya akan percuma karena Andra orang yang sangat licik dan mungkin pihak sekolah sudah diiming imingi dengan uang.
"Memangnya lu ga ada rasa bersalah sama orang yang hampir aja lu bunuh?" kataku dengan dikelabui amarah yang sudah sangat meninggi.
"Emang dia siapanya lu? Pacar? Baguslah kalo pacar lu mati, artinya gue bisa ngambil lu lagi,"
Heh sembarangan, emang aku mau sama Andra lagi? Kenapa sih Wina mau sama lelaki ini. Punya hati aja nggak, apalagi otak.
Aku mau membalas ucapan Andra, namun telponku bergetar sendiri setelah ku lihat perhatianku teralihkan pada notif panggilan masuk lain. Ku baca nama yang terpampang disitu ternyata itu Wina, segera ku matikan telpon dari Andra untuk menelpon Wina kembali.
"Hallo Win," ucapku ketika telepon itu berhasil diterimanya.
"Lagi telponan sama siapa Ra, ciee."
Aku mengerutkan jidatku, pasti dilayar Wina tadi ada pemberitahuan 'sedang berada dipanggilan lain'
"Ahh gak, sama bang Rafly." sahutku tanpa pikir panjang.
"Oh, lu dimana kok gak ada disekolah? Disini kok pada berisik gosipin tentang lu sama... sama Vano? Emang lu kenapa ra?"
Aku menghela nafas karena Wina memberikan begitu banyak pertanyaan, "Nanti aja gue ceritain,"
Tanpa membalas ucapanku, Wina mematikan telpon terlebih dulu. Aku sempat berpikir untuk memeberitahu kejadian tadi, namun dilain sisi aku takut Wina kenapa napa.
Akhirnya ku putuskan untuk diam sementara, sambil menunggu keputusan bersama bang Rafly.
Aku menutup layar handphone lalu kembali merebahkan tubuhku, memikir keadaan Vano sekarang. Apakah Vano udah sadar?
Terus saja ku pikirkan dirinya, ini semua karena salahku. Andai saja saat itu aku tidak membawa andra ke tempat sesepi itu, mungkin saja kejadian ini tidak terjadi.
Semuanya sudah takdir tuhan, aku tidak bisa melawan. Untuk hari ini keberuntungan berpihak kepadanya dan kesialan berpihak kepadaku. Apa besok akan terus seperti ini?
***
Hai readers, semoga kalian sehat selalu.
Saya yakin kalian tau cara menghargai seorang author.
So, don't forget for vote😊
KAMU SEDANG MEMBACA
FANATIK
Teen FictionYang berlebihan itu tidak baik, apalagi terlalu fanatik. I am nothing more than a Claira athrama