00.08

46 20 0
                                    

Sepertinya aku sudah tertidur lelap sepanjang hari, tidak terasa bahwa waktu sudah ku lalui sampai sore dengan hanya tiduran. Namun bang Rafly belum juga pulang, aku beranjak pergi menuruni anak tangga lalu menuju meja makan karena seharian tadi aku belum makan.

Disana terlihat mamah yang sedang menikmati secangkir tehnya, lalu melirik ke arahku dengan wajah kaget. "Loh kamu ternyata ada dirumah, Rafly mana?"

Aku menghampiri mamah dan duduk didepannya, sepertinya mamah belum mengetahui kejadian tentang Vano. Apa aku juga harus bilang sama ibu? Ya, mau tidak mau mamah harus mengetahuinya karena aku juga harus tanggung jawab dengan membayar biaya Rumah Sakitnya Vano.

"Mah," panggilku lesu.

Mamah mengerutkan jidatnya, menatap ke arah ku dengan bingung karena melihat keadaanku yang lesu. "Kenapa Aira?"

"Mah.. Mam..mamah..mau..hikss," Air mata ini kembali membasahi pipi karena tidak mampu lagi terbendung, aku menundukan kepalaku sambil menutup wajah sembab dengan kedua telapak tanganku.

Mamah nampak kaget, ia segera beranjak lalu memindahkan duduknya kesampingku. Tubuhku dipeluknya erat membuatku semakin menangis tiada henti. "Aira kenapa kok nangis? Bilang sama mama kali aja mama bisa bantu,"

Aku menghapus air mata yang tidak mau berhenti mengalir, Ku lepaskan pelukannya. Dengan mata yang sembab ini, ku tatap kedua mata mamah dengan tatapan memohon. "Mamah mau gak bayarin biaya Rumah Sakit Vano?"

Ku lihat mamah sedang bingung dan tidak tau apa yang ku maksud, "Vano?"

"Vano pagi tadi nyelamatin Aira, harusnya Aira aja yang kena pisaunya tapi Vano sempat sempatnya nyelamatin Aira," ucapku masih diringi dengan isak tangisan.

Mamah terlihat ingin marah karena mendengar putri satu satunya jngin celaka. Ku lihat mamah sedang mencerna maksud dari ucapanku yang berbelit belit, tapi beberapa detik kemudian ia mulai memahaminya. "Memangnya siapa yang ngelakuin itu?"

"Andra," kataku sambil mengepalkan kedua tanganku, seakan akan aku ingin balas dendam kepadanya.

Mamah terlihat kaget, namun ia berusaha untuk biasa biasa saja. "Andra? Bukannya dipenjara?"

Aku menghela nafas dengan pelan, berusaha untuk meredakan amarah. "Udah keluar karena bayar dan sekarang kami satu sekolah lagi,"

Mamah terbelalak mendengarnya, "Apa? Ini ga bisa dibiarin, mamah akan telpon polisi." ucapnya sambil berdiri untuk mengambil handphone diatas meja.

Aku juga ikutan berdiri untuk menahan mamah, "Jangan mah,"

Mamah menatapku dengan bingung, "Kenapa jangan? Dia hampir nyelakain kamu, dan sekarang teman kamu yang jadi korban,"

Sekali lagi aku menahan tangan mamah yang hampir saja menekan tombol panggilan, akhirnya dia mengalah dan menaruh kembali handphonenya. "Oke, karena Vano udah nyelamatin kamu. Mamah akan bayar biaya rumah sakitnya,"

Mataku berbinar mendengarnya, 'maaf ya mah Aira belum punya uang. Nanti Aira ganti kalo udah punya.'

Ting...nong...

Bel rumah berbunyi, ku cari Mbok Lirah namun masih belum keluar untuk membukakan pintu. Akhirnya aku berinisiatif untuk membukanya, siapa tau itu bang Rafly.

Ku langkahkan kedua kaki ku menuju pintu depan, dengan hati hati ku buka pintunya dengan pelan. Namun perkiraan ku salah, itu bukan bang Rafly melainkan seorang lelaki berkebatasan fisik yang selalu terkena bully.

Aku menatapnya bingung karena memikirkan darimana dia tau rumah ku dan untuk apa? Namun pikiran itu ku tepi, aku mengukur senyuman dan menyambut kedatangannya dengan senang. "Dirga,"

Dirga membalas senyumanku, namun ia heran melihat wajahku. "Kamu nangis?" tanyanya.

Aku lupa untuk menghapus wajah yang telah terbasahi oleh air mata, dengan sigap ku hapus dengan kedua tanganku. "Ah enggak, ayo masuk."

Dirga menuruti ucapanku, ia berjalan masuk mengiringi ku menggunakan tongkat dengan mahirnya. Aku belum sempat bertanya kakinya kenapa bisa begitu takut dia tersinggung. Jadi ku putuskan untuk diam sambil menunggu dia yang bercerita terlebih dulu.

Aku mendudukan tubuhku disofa begitupun dengan dirga, ku lihat Mbok Lirah berlari pelan ke arah kami dan menawarkan minum kepada dirga. Dirga awalnya menolak tapi kemudian meminta minum air putih saja.

"Lu kenapa kesini?" tanyaku.

Ku lihat Dirga menyondorkan tas ransel milik ku yang tertinggal didalam kelas, aku menerimanya dengan sangat gembira.

"Maaf gue sempat buka tas lu buat nyari alamat, terus nemu alamatnya di kartu pelajar SMP dalam dompet lu. Tapi gue ga ngambil apa apa," Jelasnya meyakinkan ku.

Aku mengangguk paham dan mempercayainya sambil melihat Mbok Lirah membawakan nampan berisi segelas air putih untuk Dirga. "Makasih ya, maaf ngerepotin," ucapku.

Dirga mengangguk dan tersenyum, "Ngomong ngomong, disekolah pada ribut karena masalah lu. Emang siapa yag ngelakuin?"

Aku sontak kaget mendengarnya, tidak mungkin aku bilang begitu saja ke Dirga. "Eh lu naik apa kesini?" kataku mengalihkan pembicaraan.

Dirga nampak tidak suka, namun tetap membalas pertanyaanku. "Naik ojek. Lu tau gak tadi paman ojeknya sempat ninggalin gue,"

Aku heran, lalu bertanya. "Kok bisa?"

"Iya, dikiranya gue udah naik jadi langsung nancap gas. Padahal gue belum naik, BWHAHAHA!"

Suara tawa Dirga pecah, begitupun juga aku yang ikut tertawa. Hanya karena mendengar tawa seseorang, aku bisa ikut tertawa. Sereceh ini hidup ku ya allah.

"Gue susah naik motor, harus dibantu dulu. Kaki ini kenapa ga guna banget sih," ucap Dirga sambil memperhatikan kakinya.

Tawaku terhenti ketika mendengar ucapannya, aku memandang kaki itu lalu merasa iba. "Semua pasti ada gunanya,"

Dirga memandang ke arah ku, "Kaki cacat seperti ini bisa berguna? Lebih baik gue mati daripada dibully gara gara punya kaki kayak gini,"

Aku menghela nafas, lalu tersenyum ramah kepadanya. "Masih ada banyak diluar sana yang lebih buruk dari lu, tapi mereka tetap semangat. Semua orang juga punya batasannya masing masing terutama yang lu anggap sempurna,"

Dirga terdiam sejenak, lalu menatap ke ke arah ku dengan senyumannya. Entah kenapa aku merasakan energi semangatnya  mulai terpancar, "Makasih Ra, gue pamit ya,"

Aku mengangguk mempersilahkan Dirga untuk pulang sambil membantu dia untuk berdiri menggunakan tongkatnya. Aku mengantarkannya sampai pagar rumahku, ku lihat dia mendapatkan ojek  dipinggir jalan. Tidak lupa juga aku membantunya untuk naik ke motor itu.

Setelah kepergiannya, aku melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah. Namun belum sempat melangkah masuk, suara khas dari motor ninja hitam itu terdengar yang membuatku mengurungkan niat untuk masuk ke dalam rumah.

Ku sambut bang Rafly saat menuruni motornya, "Bang, Vano gimana?"

Bang Rafly melepaskan helmnya dan meletakan diatas motor, "Vano belum sadar, tapi tusukan pisaunya bisa berakibat kematian,"

Aku sontak kaget mendengarnya lalu kembali meneteskan air mata, entah sudah keberapa kalinya air mata ini keluar. "Bang, maafin Aira."

Bang Rafly mendekat ke arah ku yang berada di ambang pintu rumah, tangannya mengusap lembut kepala ku yang tertunduk. "Gapapa, bukan salah lu."

***

Happy reading for readers.
I hope you like it🙏

FANATIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang