00.06

56 36 1
                                    

Aku berjalan menyusuri koridoor sekolah. Disamping dapat ku lihat  majalah dinding yang baru saja diganti setiap hari kamisnya.

Dengan langkah yang tidak terlalu cepat, aku menuju kelas dipagi hari. Dibarengi dengan kicauan mulut penggosip disekolah, lalu dengan pandangan romantis dua orang yang sedang menjalani asmara. Sungguh hanya aku yang berjalan sendiri tanpa ditemani.

Ku lihat jam yang terpasang disebelah tangan kanan, disana menunjukan bahwa sekarang sudah jam 07.15. Dan itu artinya masih ada waktu 15 menit lagi untuk dimulainya pelajaran.

Ingin ku langkahkan lagi kaki ini, namun terhenti tanpa terpaksa. Aku bertemu cowok yang beberapa jam lalu mampu membuatku merasakan jatuh cinta. Tapi menurutku dia datang dari arah kelasku, mungkin karena Vano adalah anggota OSIS makanya ingin memastikan keamanan kelas.

Aku berhenti berjalan karena  berniat untuk menyapa, namun ada yang aneh. Dengan mudahnya ia mampu melewatiku begitu saja.

Ada apa?

Aku menatap punggungnya yang telah menjauh, bahkan tersenyum kepadaku saja aku tidak melihat sedikitpun. Padahal jelas jelas Vano tadi sempat melihatku didepannya.

Huftt

Mungkin moodnya sedang kacau.

Aku mengangkat kedua bahuku, berusaha tidak memperdulikannya. Ku langkahkan lagi kedua kaki ini untuk memasuki ruangan kelas.

Di ambang pintu aku menatap ke seisi kelas, aku heran karena kelas kosong. Hanya ada satu orang yang sedang membaca bukunya sambil memakai headphone dikedua telinganya.

Aku beranjak menuju tempat duduk disamping lelaki itu, ku letakan ransel yang cukup berat digendong ke atas kursi ku. "Dirga," panggilku.

Tapi dia tidak beralih menatapku, Musik yang didengarnya sangat keras sehingga samar samar aku dapat mendengarnya.

Ku lihat bajunya yang sudah terlihat kusam dipagi hari, apa dia habis melakukan sesuatu atau pakaiannya memang senghaja tidak disetrika? Aku duduk disampingnya lalu menyenggol tangannya dengan pelan.

"Kenapa Ra?" sahutnya sambil menoleh kearahku dan melepas headphone yang dikenakannya.

"Kok kelas sepi?" tanyaku dengan wajah heran.

Dirga menatapku bingung, lalu kedua bola matanya berarak untuk memperhatikan ruangan kelas. Sudah ku tebak Dirga juga tidak sadar karena sedari tadi ia hanya fokus membaca buku pelajaran dan mendengarkan musik.

"Lah iya pada kemana?" tanyanya balik.

Aku memutarkan kedua bola mataku, padahal ini sudah hampir masuk jam pelajaran. Namun ku lihat sekali lagi, diatas kursi sudah banyak tas. Lalu kemana mereka pergi?

Ku lihat Dirga kembali memasang headphonenya, sepertinya dia tidak peduli. Aku  pun berusaha tidak memperdulikannya, mungkin mereka pada makan ke kantin.

Aku berniat untuk menemui Wina, kelasnya cuman disampingku. Jadi hanya butuh beberapa langkah untuk sampai ke kelasnya. Namun, belum selangkah keluar dari ruang kelas. Aku sudah dipertemukan dengan lelaki psikopat yang hampir membunuhku dimasalalu.

Dia Andra.

Aku menatapnya dengan tajam, ia seperti tersenyum licik kearah ku. Aku menoleh kebelakang, ku lihat Dirga masih terfokus dengan kegiatannya. Aku tidak ingin Dirga tau, sehingga Andra ku tarik menjauh dari ambang pintu kelas. Aku mengajaknya ke tempat yang lumayan jauh dan tidak banyak orang, agar Wina tidak melihatnya.

"Berani beraninya lu ada dihadapan gue lagi," ucapku sinis.

Andra memperhatikan tubuhku, aku bergidik ngeri namun tetap berusaha untuk terlihat biasa biasa saja.

Andra tidak membalas, ia beralih memperhatikan wajah ku yang sudah dikelabui amarah.

Entah kenapa dia bisa berada disini lagi, aku tidak tau bagaimana caranya ia bisa lolos dari kurungan para penjahat.

Namun dengan sigap Andra menarik ku tanpa membalas perkataanku, ia menyeret paksa tubuh kecil yang didekapnya dalam pelukan. Aku ingin berteriak, namun mulutku sudah terlebih dulu ditutupi dengan tangan.

Sial,

Aku menyesal telah membawanya ke tempat sepi.

Bang Rafly tolong aku.

Aku hampir saja ingin menangis, tubuh ku tidak sebanding dengan tubuh besarnya. Bahkan untuk melawan pun sudah sekeras mungkin ku coba. Kemudian ia melepaskan ku dibelakang sekolah, tempat ini benar benar sunyi.

Ia mendekapku dari belakang, aku masih merasa lemas karena hampir tidak bernafas. Ku jauhkan tubuhku dari dekapannya, lalu menepis tangan yang mulai kurang ajar.

"Mau apa?" kataku dengan geram.

"Aku kangen," Sahutnya.

Aku mendorong tubuhnya yang ingin mendekat kearah ku, "Jangan macem macem sama Wina,"

Andra memasukan kedua tangannya kedalam saku celananya, lalu mengangkat kedua bahunya sambil memikirkan sesuatu. "Boleh saja, tapi kamu harus jadi milikku lagi." katanya.

Jadi miliknya lagi?

Dengan seribu kali berpikir, tetap saja aku akan menolaknya. Dia pikir aku bodoh?

"Lu pikir gue mau jadi mainan lo lagi?"

"Yaudah, berarti jangan salahin gue kalo mau ngambil Wina."

Semudah itu ia berucap, dasar bodoh! Sepertinya Andra benar benar tidak mempunyai otak dan hati nurani.

"Gangguan jiwa lu diobatin dulu sana!"

Lelaki seperti ini harusnya sudah berada dineraka, tidak akan ku maafkan dirinya jika sampai Wina kenapa napa.

Andra menatapku dengan tatapan marah karena ucapanku barusan, "Gangguan jiwa?"

Aku memajukan langkahku mendekatinya, "Ya, harusnya lu dipenjara seumur hidup tapi kenapa lu bisa keluar dari penjara?"

Andra tertawa, seperti meremehkan ucapanku. Ia mensejajarkan wajahnya dengan wajahku, "Heh, siapa yang bisa ngalahin orang kaya? Polisi saja bisa diiming iming dengan uang, sepertinya lu lupa orang tua gue siapa?"

Bajingan, baru ku ingat orang tuanya adalah orang ternama. Oh sekarang aku tau, dia bisa keluar penjara karena bisa membayar sekaligus menyembunyikan kejahatannya dengan memberikan uang.

Dan yang lebih ku kesali Andra bisa masuk SMA tanpa lulus SMP dengan melalui jalur mandiri alias uang.

Aku tidak lagi berkutip, sudah cukup muak untuk berbicara dengannya. Akhirnya ku putuskan untuk kembali ke kelas. Ku balikan badanku lalu mulai melangkahkan kaki.

Dengan perasaan kesal, dan mencoba berpikir bagaimana caranya menyingkirkan Andra dari hadapan ku bahkan dunia ini.

"AIRA!"

Teriakan itu menghentikan langkahku, segera ku balikan badan dan terkejut dengan benda tajam yang hampir mengenaiku.

Ya, hampir saja mengenai ku tetapi sudah terlebih dulu tertancap diperut lelaki yang baru saja berteriak namaku. Seketika lelaki itu jatuh tersungkur ke tanah, ia kesakitan.

Aku berteriak histeris ketika darah itu mengalir deras dan membasahi hampir seluruh seragam yang dikenakannya. Teriakan ku semakin menjadi jadi ketika ku ketahui dia adalah orang yang ku kenal.

"Va.. Vano,"

***

Maaf lagi kehabisan ide😭
Typo juga masih menyebar kayak corona.

FANATIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang