Een

849 73 6
                                    

Jefrin


Ketika gue sedang mencoba mencari jati diri gue, mencari apa yang harus gue lakuin untuk masa depan gue, gue sempet berhenti di satu titik, karena gue bener-bener enggak tau apa yang harus gue lakuin.

Sebagai lulusan ilmu politik dari universitas yang biasa-biasa aja di LA, gue mulai menanyakan apakah ini yang gue mau? Apa ini jalan gue? Gue bener-bener kehilangan arah. Bahkan orang tua gue sekalipun enggak mampu untuk bikin gue yakin sama apa yang gue mau. Mereka mau gue lanjut S2, tapi gue tau, bukan itu yang gue mau.

Gue nganggur, kadang bantuin temen gue ngejaga cafenya. Dan lagi-lagi gue tau, gue enggak bisa kayak gini terus.

Maka dari itu, ketika gue kenal gadis berambut pendek yang tinggal jauh dari gue tapi berhasil buat gue sadar sama apa yang gue mau, gue seneng. Karena akhirnya ada yang mengerti gue tanpa mencoba untuk merubah gue.

Dirana..

Bisa dibilang Ana adalah tempat gue menuangkan semua yang ada di pikiran gue.

Sejak ada Ana, gue yakin sama apa yang gue mau.

Sejak ada Ana, gue rela ngabisin waktu berjam-jam untuk natap layar laptop gue, karena itu satu-satunya cara untuk gue bisa ngobrol sambil natap wajahnya.

No, Ana isn't my girl.

But.. she always say..

"Jeff.. Gue enggak tau kalau enggak ada lo harus ngapain."

Karena bukan cuman gue yang butuh dia,

Dia juga butuh gue.

"Gue berantem lagi."

Gue bisa ngeliat wajahnya yang bete sambil tangannya memeluk guling.

Gue diam, karena tau dia akan ngelanjutin apapun itu yang ada dipikirannya.

"Dia masa ngambek dong karena gue enggak bales chatnya yang banyak banget! Udah tau gue males banget ngetik."

Gue ketawa, bener-bener ketawa.

"Gue tuh cape."

"Kenapa?" tanya gue akhirnya.

"Ya masa gue baru jadian 3 bulan aja dia udah ngelarang-ngelarang, enggak coba untuk ngertiin gue."

"Have you ever tried to understand him?"

Ana diam. Kemudian mengangguk.

"Gue selalu, selalu mencoba, Jef. Gue juga selalu nurut mau dia. Dia enggak suka gue pake rok atau celana pendek? Gue lakuin. Dia enggak suka gue nongkrong di wartin? Gue lakuin. Dia..."

Gue enggak lagi mendengarkan ucapan Ana karena yang menjadi fokus gue sekarang adalah Ana, wujudnya. Gimana ekspresinya ketika menjelaskan semuanya ke gue. Gimana alisnya naik, gimana tangannya akan meraba tulang rahangnya.

Dan gue ada disatu kesimpulan.

"Ana.."

Dia diam, menatap gue dengan alis kirinya yang terangkat.

"Why don't you try to understand yourself? Like what you always tell me."

Gue masih inget betul ketika gue minta video call dia jam setengah 2 pagi di tempat gue, dan yang berarti jam setengah 4 sore di tempat dia untuk nanyain hal yang pengen gue tanyain ke dia sejak gue kenal dia. Cuman gue belum yakin kalau dia orang yang cocok untuk gue tanyain. Sampai dia harus pulang dari rumah temennya biar bisa video call sama gue di kamarnya. Gue saat itu cuman bilang, "I want to talk." dan enggak tau kenapa dia bisa sampai rela pulang hanya karena ucapan gue barusan.

"What should I do?" tanya gue saat itu.

Mungkin itu pertanyaan simpel. Tapi gue takut, takut kalau jawaban atas pertanyaan gue bisa ngerubah pola pikir gue.

Ana senyum, "Akhirnya."

"......."

"Akhirnya lo mulai percaya kalau gue bisa lo tanyain hal kayak gitu."

Gue cuman mandangin wajahnya, ngeliat gimana dia menyisir ke belakang rambut pendeknya dengan jari-jari lentiknya.

"Mia cerita semua, cerita pas lo minta kontak gue ke dia, cerita kalau lo lagi butuh orang untuk temenin lo, cerita semuanya."

"....."

"Tapi gue mau denger semuanya dari lo."

Dan setelahnya, yang gue lakuin adalah cerita semua keraguan yang ada di diri gue.

"Jef, why don't you try to understand yourself first before ask someone to answer your question when I know the only one who can answer that is yourself."

Karena terlalu banyak yang gue takutin. Gue takut ngecewain orang tua gue dan gue juga takut kalau apa yang menjadi pilihan gue, ternyata enggak milih gue balik.

Tapi saat itu, Ana bisa ngeyakinin gue. Ngeyakinin kalau gue bisa. Ngeyakinin kalau gue enggak perlu takut.

Bisa ya gue selemah ini di depan cewek yang bahkan enggak pernah gue temuin secara langsung? Hahahaha.

Makanya saat sekarang dia lagi cerita, yang bisa gue kasih hanya, "Why don't you try to understand yourself?"

Karena gue udah ngerasain sendiri kalau kalimat itu mampu untuk gue yakin akan sesuatu. Gue mau coba ngertiin diri gue, tapi bukan berarti gue enggak mau peduli sama orang lain. Gue mau coba ngertiin diri gue, supaya gue tau apa yang gue mau, dan coba ngeyakinin mereka kalau apa yang gue pilih, bisa jadi milih gue juga. Karena enggak ada hidup yang lancar-lancar aja kayak sungai, bahkan sungaipun kadang ada batu gedenya yang ngalingin aliran airnya.

"Stop it if you feel what you do is not what you want. Even though what you want is not always the best for you."

That's it.

**

Space For TwoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang