Vyf

257 52 3
                                    

This is not the whole book.

This is just the first page.


**
Jefrin

Gue selalu punya banyak kesempatan untuk pulang ke Indonesia, tapi gue enggak pernah lakuin. Kalau dulu, alasan gue enggak pernah balik ke Indonesia adalah karena gue udah enggak menganggap kembalinya gue ke negara itu adalah sebagai pulang.

Gue lahir dan tumbuh di negara orang, tumbuh dengan budaya yang jauh berbeda dengan keluarga gue yang lainnya. Bahkan, dulu orang tua gue harus memaksa gue untuk mulai berbicara bahasa Indonesia. Dulu gue menganggap itu enggak penting, toh gue selalu ngomong dengan bahasa Inggris hampir 24 jam. Sampai umur 14 tahun gue enggak bisa bicara dengan bahasa Indonesia yang bener, sampai akhirnya seluruh keluarga gue datang untuk liburan, dan baru kerasa sedihnya gue enggak bisa berinteraksi dengan saudara-saudara gue yang lainnya karena keterbatasan bahasa Indonesia gue.

Bahkan sejujurnya, orang tua gue selalu menanyakan "Kamu enggak mau tinggal di Indo, Jef?"

Ketika mereka menanyakan hal itu beberapa tahun yang lalu, gue selalu menjawab gue enggak mau. Gue enggak mau tinggal di tempat yang asing buat gue walaupun hampir seluruh keluarga gue tinggal di sana. Gue bahkan enggak punya teman di sana kecuali sepupu-sepupu gue yang gue yakinin juga super sibuk sama urusannya masing-masing. It sounds really sad, right?

Tapi semakin gue dewasa, gue mikir, apa gue ingin terus-terusan diam di zona nyaman gue? Apa gue ingin terus-terusan terjebak di sini?

Gue ingin pulang, pulang ke tempat yang memang seharusnya gue sebut pulang.

Maka dari itu,

"Na, gue ke Jakarta minggu depan."

Ana diam sambil menutup mulut dengan tangan kanannya, menatap layar laptopnya-atau menatap gue dengan pandangan enggak percaya.

"Don't lie to me."

Gue menyeringai dan menunjukkan tiket pesawat ke kamera laptop.

"Shit! Apa-apaan?!!!!"

"Kok gitu responnya?"

"Ihhhhhhh Jefrinnn!!"

"Apa?"

"Duh! Minggu depan banget?!"

Gue mengangkat alis bingung, "Kenapa sih? Lo enggak mau ketemu gue?"

Ana menggeleng, kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya, membuat gue makin bingung.

"Na? Helloooo?"

"Na turunin dong tangannya, gue kan mau liat muka."

"Anaaaaaaaa!" teriak gue gemas.

Ana menurunkan tangannya dan gue melihat wajahnya yang merah.

"Hahhhhhhh.."

"Ken-"

"Ini beneran kan? Lo enggak bohongin gue kan?"

Gue menggeleng sambil tersenyum, "Kan tadi udah gue tunjukkin tiketnya."

"Wah gila."

"Lo seneng atau enggak sih?"

"Pake nanya? Ya seneng banget! Gue kayaknya enggak akan bisa tidur untuk besok-besok."

"Kenapa?"

"Karena terlalu excited."

"Excited kenapa?" tanya gue dengan alis terangkat.

"Because...."

Space For TwoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang