XVII

387 61 1
                                    

Sana's

Aku berjalan sempoyongan menembus hujan malam itu. Membiarkan darah yang tersapu air hujan muncul ke permukaan kembali. Menahan rasa sakit tak tertahan di pelipis, dan juga batinku.

Aku tak ingin meninggalkan Jungkook malam itu. Jungkook adalah tipe pengontrol emosi yang baik. Namun sekalinya ia lepas kontrol, ia bisa membunuh lawannya. Aku takut Jeon Jungkook menjadi pembunuh.

Karena pertama dan terakhir kalinya, Jungkook hampir memotong tangannya sendiri jika aku tak datang saat itu.

Sayangnya ayah mengancam akan membunuhku jika aku terus berada di lingkungan ayah.

Ia mengancamku meski dalam keadaan sekarat. Hahaha sangat lucu.

Aku jatuh tersungkur, yang menambah luka pada lututku. Anehnya itu tidak sakit, meskipun darah yang keluar sangatlah banyak dan luka yang cukup besar.

Aku menangis sejadi-jadinya malam itu, di tengah jalan gang Distrik Geumcheon yang diguyur hujan deras.

Aku sungguh membenci kehidupanku. Tak ada yang bisa kulakukan untuk terus bertahan hidup. Dan tak ada alasan untuk melakukannya.

Bukankah mati terasa lebih baik, meski mungkin nantinya aku akan menghuni neraka? Setidaknya bukan neraka yang terdalam.

Aku terus memikirkan tentang kematian hari itu, bahkan sampai aku tak sadarkan diri.

***

Aku berjalan sendirian di koridor sekolah. Koridor yang selalu gelap saat aku pulang.

Hanya suara sepatuku yang terdengar. Selebihnya, tidak.

Aku juga heran mengapa Jungkook tidak pernah menungguku lagi untuk pulang bersama.

Setelah kejadian pengusiran oleh ayah.

Apakah ia senang jika aku tidak di dekatnya? Pasti seperti itu.

Tidak ada lagi yang membentaknya saat ia keluar masuk kamarku tanpa izin.

Tidak ada lagi yang memukulnya ketika ia menceritakan sebuah candaan yang tidak lucu.

Tidak ada lagi yang membebaninya karena aku yang berusaha membunuh diriku sendiri.

Tidak ada. Tidak ada lagi yang membuatku merasa dicintai, saat ini.

Aku benar-benar sendiri. Terjebak dalam duniaku sendiri.

Aku menangis sekencang-kencangnya dalam gelap. Menyalahkan diriku atas segala apa yang terjadi.

"Jika saja ibu tak menyelamatkanku saat itu..."

"Sana!"

Samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggilku. Dengan segera aku mendongakkan kepalaku mencari sumber suara itu.

"S-siapa disana?" tanyaku mulai ketakutan.

"Sana!"

Aku melihat seseorang di ujung koridor. Aku tak dapat melihatnya dengan jelas, karena gelapnya tempat ini.

Aku mendengar orang itu berlari mendekat padaku. Dan betapa terkejutnya aku.

Ibuku ada disana. Ia yang sejak tadi memanggilku.

Tanpa pikir panjang aku berlari mendekati ibu. Tapi langkahku mulai memelan.

Ibuku sudah tiada.

"K-kau bukan ibu..."

"Sana, ini ibu sayang,"

"Tidak! Kau bukan ibuku, bajingan!"

Aku menutup telinga dan mataku selepasnya. Suaraku menggema keras di sepanjang koridor.

Lalu aku mendengar suara riuh terikan. Mereka meneriaki ibuku.

"Nyonya!"

"Bawa dia pergi!"

"Selamatkan yang lain!"

"Evakuasi anak yang ada di panggung sana!"

"Cepatlah! Bangunan ini mulai runtuh!"

Aku membuka mata dan telingaku.

Di depanku, aku melihat mereka terjebak dalam sebuah teater yang terbakar. Suasana yang begitu kacau. Aku melihat banyak orang terluka disini, termasuk ibu.

Atensiku teralihkan ke area panggung, dimana seorang gadis terjebak di properti kayu yang terbakar. Aku melihat ibuku berlari menuju area panggung, sebelum sebuah balok kayu besar penyangga gedung terjatuh menimpanya.

"Ibu... jangan selamatkan aku," ujarku sambil menangis, ingin rasanya aku berlari padanya. Namun kakiku tak bisa digerakkan, kaku.

"Noona!"

Pandanganku beralih pada Jungkook kecil yang meneriaki gadis itu. Ia sepertinya juga ingin menyelamatkan gadis itu, namun orang-orang dewasa mencegahnya.

Hingga aku melihat seorang lelaki berlari menuju gadis itu. Ia menembus pekatnya asap dan berlari menuju panggung di mana si gadis terjebak.

Namun naas, kakinya tersandung kayu dan tersungkur disana. Dengan seorang gadis yang masih dipeluknya erat.

"Hyung! Noona!"

"Sayang! Sayang, bangun!"

Aku melihat ayahku tengah membangunkan ibuku yang berlumuran darah dalam pelukannya.

Hingga pandangan ayah beralih dari ibu ke aku. Ia menatapku murka.

"Dasar anak bajingan! Beraninya kau membunuh istriku!"

"Aakkh!" pekikku yang jatuh tersungkur di lantai koridor.

Aku membuka kedua mataku dan yang kudapati adalah bahwa aku sendirian di tempat ini.

Air mataku juga tidak membekas.

Apa itu tadi? Halusinasi? Ilusi?

Aku menoleh dan mendapati diriku yang berada di depan sebuah kelas.

Classroom 3 - 4

Itu kelas Taehyung-sunbae. Ah benar,aku tak pernah bertemu dengannya sejak tahun baru itu. Ia juga tidak dapat dihubungi.

Aku hanya menatap kelasnya yang terhalang pintu berkaca dari luar.

Dari sini aku bisa melihat bangku paling belakang di dekat jendela. Bisakah aku membayangkan bahwa Taehyung-sunbae duduk disana?

Mencoret-coret halaman buku paling belakang, atau tertidur pulas dengan buku paket yang menutupinya,atau bahkan melihat keluar jendela seperti yang biasa aku lakukan.

Membayangkannya saja membuatku merindukannya lebih dari ini. Hatiku sakit. Aku kehilangan akal sehatku karenanya.

Hingga imajinasiku bertambah liar. 'Membayangkan' dirinya yang berbalik menghadapku.

'Membayangkan' dirinya yang mendapatiku tengah memandanginya.

'Membayangkan' dirinya yang berjalan menuju pintu kelasnya dengan senyumannya.

'Membayangkan' dirinya yang menatapku sendu.

Hingga membayangkan dirinya mendekapku erat. Bahkan aku dapat mendengar detak jantungnya. "Aku merindukanmu, Sana."

"Sana!"




waw rekor tercepat jincuk menulis sebuah chapter dalam satu jam saja ku mau denganmu.g

Existence [ K t h ; J j k  +  M s n ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang