X

557 81 4
                                    

Taehyung's

"Noona, kita sudah memiliki pengganti Artemis."

Ah lihat dia! Dia pasti sedang menyumpahiku di dalam dirinya. Jujur aku menyukai saat ia menyumpahiku.

Jiwon-noona hanya menatapku meragukan. Aku tahu ia tak ingin bercanda saat ini. Namun aku juga tahu aku tak bercanda saat ini.

"Perkenalkan," aku menarik lengannya mendekat, "ini Minatozaki Sana." Aku meraih tangannya untuk menjabatkan dengan seniorku tersebut.

Ia bergetar hebat. Senyumnya dipaksa.

"Siapa dia?"

"Aku sudah mengenalkannya padamu tadi."

"Yak! Aku tahu! Maksudku—

"Ia juniorku. Ah,kita. Ia sangat pandai bersandiwara. Aku bahkan pernah tertipu sandiwaranya," aku menatapnya semu, "kan,Sana?"

Dari caranya memandang dapat ku pastikan ia akan membunuhku bila acara ini telah selesai.

Setidaknya aku dapat menahannya lebih lama denganku.

"Maaf,namun saya benar-benar ti—

"Ah baiklah. Suruh ia berganti pakaian. Aku percayakan ia padamu,Taehyung."

Wanita itu pergi untuk mwnerima telepon setelah mengamanatiku. Aku melirik Sana yang berada di sampingku. Dia terlihat gugup.

Aku menggenggam tangan kirinya yang bergetar tak seirama.

"Tak apa,akan ku bantu." Ujarku menenangkannya.

Ia tak menjawab. Tatapannya kosong. Aku baru menyadarinya.

Aku berjalan maju tanpa melepaskan genggamanku padanya. Memposisikan diriku di depannya. Menatap lekat padanya.

Bayanganku kembali tercermin disana. Irisnya begitu hitam. Kelam.

Aku penasaran bagaimana masa lalunya.

Tangan kiriku terangkat menangkup pipinya. Ia tak bergeming. Itu yang membuatku khawatir.

"Jangan biarkan traumamu menguasaimu,Sana." Ujarku sok tahu.

Her eyes are shaking.

Ia menatapku perlahan. Ia marah.

"Kau tahu apa tentangku hah?!"

Ia membentakku.

Bibirnya bergetar seolah menahan suatu hal. Pancaran matanya bagai menyulutkan api. Ia membuang tanganku kasar dari pipinya,dan berlalu meninggalkanku.

Aku syok. Ini bukan kali pertama ia membentakku. Tapi bisa kurasakan suatu hal dari bentakannya padaku.

Berwarna hitam kelam.

***

"Hentikan omong kosongmu,Apollo!"

Aku tidak mengerti. Beberapa saat yang lalu ia murka padaku,namun ia masih mau menerima peran itu.

Tapi ada satu hal yang membuatku mengutuk diriku sendiri. Ia melakukan itu dengan menahan ketakutannya.

Itulah sebenarnya yang juga membuatku kagum padanya. Orang di sekitarnya tak ada yang mengetahuinya.

Tak ada yang tahu bahwa ia sedang bersandiwara dengan sempurna bahkan saat ia menggores lukanya sendiri lebih dalam.

Aku tersenyum bingung. Aku merasa seperti berada dalam dua kondisi berbeda yang kontras.

Dosakah aku bila aku ingin hidup di masa lalunya sehingga aku dapat mencegah luka itu tertoreh di hatinya?

"Setelah ini giliranmu. Bersiaplah di belakang panggung." Seseorang menyadarkanku.

Aku berpura-pura merapikan pakaianku,bersiap untuk maju. Untuk sesaat aku terdiam kembali,terdiam karena pesonanya.

Berapa kali sudah ia membuatku seperti ini. Aku merasa aneh,tidak normal. Aku pasti sudah gila.

Aku maju perlahan.

"Bukan aku yang akan melawan Orion,Artemis sayang. Tapi peliharaanku yang lucu ini."

Seekor kalajengking—buatan—yang sangat besar datang ke hadapanku.

"Kau ingin aku melawan serangga seperti ini? Jangan bercanda Apollo,dia bahkan tidak sebanding dengan diriku." Ujarku sombong.

"Jangan banyak bicara,buktikan saja."

"Dengan senang hati,Tuan."

"Apa yang kau lakukan?!" Artemis menarik tanganku.

Bukan. Sana lah yang menarikku.

Aku tersenyum padanya,"tak apa. Inilah takdirku,jalan yang ku tempuh sendiri." Ujarku dengan menggenggam kedua tangannya. Modus.

Aku melepaskan tangannya perlahan dan mulai bersandiwara kembali. Setting panggung berubah menjadi lautan kala itu. Menandakan di mana aku akan mati dan peranku berakhir.

Sana,ah tidak,Artemis datang padaku. Mengucurkan air matanya deras—hanya berakting. Ia terduduk menatapku sendu. Mengangkat kepalaku untuk tidur di pangkuannya.

"Apa yang kau lakukan,Orion!"

"Hei lihat. Mungkin kau akan kaya."

"Apa maksudmu?"

"Mutiara berjatuhan dari netra indahmu,Artemis," aku menyeka air mata—palsu—nya.

"Bahkan dalam masa sekaratmu,kau masih bisa berdusta." Ia tersenyum sendu.

"Seti-setidaknya uhuk aku masih bisa melihat senyummu di akhir hayatku." Aku terbatuk palsu.

Ia kembali menangis.

"Maafkan aku."

"Untuk membuatku telah mencintaimu?"

"Aku tidak bercanda,Orion." Ia memukul lenganku pelan.

Ia menatapku. Tepat di manik mataku. Aku melemah. Ini di luar sandiwara. Sungguh.

Semua sunyi,seolah berhenti. Aku bahkan tak dapat mengerti apa yang ia bicarakan. Aku telah keluar dari sandiwara ini.

Bencana.

Kacau.

Air.

Api.

Wanita.

Hitam.

Hah? Apa itu tadi? Itu semua yang tergambar pada matanya.

Itukah masa lalunya?

Hatiku memanas. Entah mengapa aku merasakan sakitnya. Sakit ini nyata. Begitu nyata. Aku...tak tahu.

Tanganku secara tak sadar bergerak melewati samping kepalanya dan meraih tengkuknya. Mendekatkan dirinya kepada diriku. Aku memejamkan mataku,berusaha terhubung dengannya.

Aku menciumnya.











Selesai hibernasi hehe. Lama ga apdet ya): maaf): sebagai permintaan maaf hajeen kasih foto spesial dari mba Tata.

MinaTAEzaKIM Tata :* ❤

Existence [ K t h ; J j k  +  M s n ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang