Prolog

294 14 0
                                    


Hello! Welcome to My second story.

I hope you like it!

Vote and commentnya dong hehehehe!

---------------

Nathan adalah pria yang selalu ada dalam jiwaku. Ya bisa dibilang dia adalah cinta pertama di hidupku. Dia adalah teman pertama yang mengajakku bermain dan mengajarkanku banyak hal. Mungkin untuk ukuran anak berusia sepuluh tahun, rasa cinta yang kumiliki untuk Nathan bisa dijadikan lelucon. Aku sering sekali membuat bekal untuknya, ya walaupun hasilnya bisa ditebak. Bentuk makanan yang buruk rupa dan sering sekali gosong, tidak membuat Nathan-ku marah. Ia pun dengan senang hati memakan kotak bekal yang sudah susah payah aku buat. Sebaliknya, Nathan-ku lebih jago memasak dibandingkan denganku. Mungkin karena dia sering membantu ayahnya memasak jadi dia lebih paham. Apalagi ayahnya juga seorang Chef! Hmmm.....

Tetapi kebersamaan kami terhenti ketika ayahku, seorang pebisnis dan pengacara memilih melanjutkan usahanya di negeri Paman Sam, Amerika Serikat.

Aku pun hancur ketika Orangtuaku berusaha keras mengajakku untuk mengikuti mereka. Padahal mereka tak mengerti jika aku tak bisa jauh dari pangeran kecilku,

Aku pun menolak untuk pindah karena aku tak mau berpisah dengan Nathan. Ibuku berusaha. Memberikan pengertian yang sama dengan ayah. Tetapi aku tetap pada pendirianku. Aku pun pergi ke suatu tempat dimana aku dan Nathan sering bercengkrama bersama.

Di taman itu, kami sering menanam berbagai macam bunga dan bermain bersama. Melupakan semua tugas sekolah dan bercanda ria. Ternyata Nathan pun disana dan ia pun juga menangis. Kemudian ia menatapku dengan penuh arti. "Viona? Kenapa kamu menangis?" ujarnya kepadaku.

"Aku....aku....aku" ujarku yang masih terbata-bata mengingat kejadian itu.

"Ayahku ingin kami pindah, dan aku tak mau Nathan. Aku tak mau pindaaaaah" rengekkanku makin keras dan Nathan pun memelukku.

"Aku tahu Viona. Aku sudah mendengarnya dari ayahku. Aku juga tak mau jauh darimu" ujar Nathan yang juga mengatakan semua isi hatinya kepadaku. Hatiku pun Berdesir kencang mendengar pengakuan Nathan yang juga mencintaiku.

Nathan pun melepaskan pelukannya dan menatapku dengan intens. "Bagaimana jika kita menikah?" ujar Nathan memberikan idenya kepadaku.

"Hah?!" ujarku sambil terperangah mendengar semua ucapan Pangeranku. "Aku tak mengerti apa maksudmu, Nathan?".

"Ayah selalu mengatakan jika perempuan dan laki-laki bisa tinggal bersama dan memiliki bayi, ya itu namanya menikah" ujar Nathan yang memberikan ide yang kuanggap aneh itu.

"Mungkin kita bisa melakukan itu untuk mencegah kepergianmu".

"Apa kamu mau menikah denganku viona?" ujar Nathan yang sambil bertekuk lutut di hadapanku sambil membawa bunga. Aku pun terkejut melihat Nathan yang menatapku begitu lembut.

Aku pun masih tak mengerti dengan kata menikah. Tetapi aku menerimanya karena rasa Ketakutanku yang jauh lebih besar. "Aku mau Nathan! Aku mauuuuu" ujarku sambil meloncat kegirangan.

Nathan pun bergembira dan akhirnya membawaku ke rumahnya. Awalnya orangtua Nathan sangat ramah kepada kami hingga akhirnya mereka menjadi murka.

Plak!

Sebuah tamparan mulus pun mendarat ke wajah mulus Pangeranku. "Ayah!" teriakku dan ibu bersamaan. Aku tak menyangka jika penjelasan Nathan membuat ayahnya sangat murka.

"Ayah tak pernah mengajarkanmu seperti ini Nathan! Kalian masih kecil kenapa seperti ini!"

"Nathan, kalian masih kecil dan masa depan kalian masih panjang! Kalian tidak mengerti apapun tentang pernikahan!" ujar ayah Nathan, Daniel yang begitu murka kepada kami.

Aku pun memundurkan kakiku beberapa langkah karena ketakutan mendengar suara ayah Nathan yang begitu besar.

"Maafkan ayah viona. Bukan maksud ayah untuk membuatmu takut, tetapi ayah hanya mengatakan yang sebenarnya".

"Kalian masih kecil dan belum mandiri. Kalian masih sepenuhnya bergantung kepada orangtua. Untukmu Nathan, apa kamu mampu membiayai kehidupan Viona kelak?" ujar Ayah Nathan yang membuat aku pun mau tak mau meliriknya. Nathan hanya diam dan takut tanpa merespon. Ia pun masih memegang pipinya yang baru saja ditampar ayahnya.

"Baiklah, aku yakin masalahnya sudah selesai. Aku akan mengantarkan viona ke rumahnya".

Setelah itu ayah Nathan pun menceritakan semuanya kepada Orangtuaku. Berbeda dengan ayah Nathan, Orangtuaku hanya tertawa saja. Aku pun menjadi malu melihat ayah yang begitu tertawa lepas melihatku.

"Ayo lah Bimo, mereka masih kecil. Mereka tak tahu apapun. Aku tahu mereka salah, tetapi tak sepantasnya kamu menghukum mereka" ujar ayahku menasihati ayah Nathan.

"Tetapi Raka, mereka keterlaluan! Mereka berpikir layaknya mereka bisa seperti orang dewasa. Padahal mereka belum mengerti apapun".

"Justru itu kita harus memberikan pengertian kepada mereka, Raka" ujar ayahku yang masih memberikan ceramah.

Setelah kejadian itu, aku pun tidak diperbolehkan bertemu dengan Nathan. Rasa rindu terus menyerangku, tetapi ayahku seakan tidak peduli. Hingga akhirnya hari itu tiba.

Untuk terakhir kalinya kami bertemu dan berpelukan satu sama lain di bandara. Semua nampak bersedih dengan kepergian kami. Nathan pun memberikanku sebuah kenangan yang sampai saat ini aku pakai.

"Viona, aku yakin kita bisa bersama suatu hari nanti" ujar Nathan sambil menggenggam tanganku dengan erat.

Aku pun mengangguk dan menangis mendengar apa yang Nathan ucapkan. Kami pun melepa
"Aku berjanji Viona! ketika waktu itu tiba, aku akan melamarmu" ujar Nathan, laki-laki yang berusia dua tahun diatasnya juga menangis dan memeluk Viona tak kalah erat.

"Aku menunggumu Nathan" ujarku sambil melambaikan tangan perpisahan kami. Kami masih saling bertatapan satu sama lain hingga pandangan kami terputus oleh kerumunan orang yang berjalan silih kemari.

Sepuluh tahun kemudian, aku menantikan saat-saat indah itu. Ternyata Nathan pun menepati janjinya. Ia melamarku dengan romantis dan membuatku satu-satunya perempuan yang beruntung. Tetapi itu hanya sementara. Ia menjadi dingin dan tak mengenaliku. Setelah semua usaha yang kulakukan akhirnya aku mengetahui jika aku bukan perempuan masa lalunya, melainkan wanita itu. Wanita yang telah merebut hati Nathan-ku hingga akhirnya aku tersisih. Kemudian, aku baru tahu jika dia menikahiku karena keterpaksaan.
Disinilah penderitaanku dimulai.

"Nathan, siapa wanita ini?" ujarku dengan hati yang teriris.

Nathan pun menatapku dengan wajah yang sendu. "Dia adalah wanita yang kucintai. Maafkan aku".

I'm Not The Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang