Jangan Lupa, kita adalah manusia biasa

167 11 0
                                    

Suatu hari, anak seusia kita pernah juga saling mencinta. Terjembab begitu dalam, sebelum akhirnya mereka dipersatukan oleh Tuhan.

Suatu hari, anak seusia kita juga bahkan tak pernah menangkap maksud dari sebuah lemparan senyum, atau bahkan sekadar tulisan penanda introduksi, bahwa kasmaran sedang melanda hati.

Suatu hari, dua hal ini terjadi bersamaan. Raganya bersua setiap waktu, namun inginnya berbeda bak langit dan bumi. Itulah kita. Itulah manusia. Itulah hantaman ombak yang coba menghantam seberapa kuat batas setia dalam semaian rasa.

"Coba tebak, ada berapa butir sisa jualan bapak itu?",

"Mana aku tahu:v",

Kita coba membangun percakapan sederhana. Demi apa? demi kuatnya karang menerima hantaman ombak dikemudian hari.

Ya, sesederhana itulah sebuah rasa. Tak boleh habis hanya karena kita tak lagi punya uang untuk menghabiskan waktu berjalan bersama atau hal-hal kecil lain yang sama sekali tak pantas kita sebut ombak dalam titian panjang sebuah cinta.

Semua, sangat sederhana. Kau tak perlu sibuk menghabiskan waktu di depan ponsel untuk menunggu kabar. Karena kau akan selalu menjadi satu dari sekian banyak alasan mengapa aku tetap ingin baik-baik saja di dunia ini.

Seperti inilah sederhananya aku mengintroduksikan rasa pada kau yang selalu betah menyelip dalam tiap bait doa.

Padang gersang adalah simbol bahwa nafasmu masih riuh terhunuskan dalam sanubari.

Terik dan benam senja pada pukul lima hingga kumandang adzan maghrib berlalu, adalah simbol bahwa ragamu masih setia memancarkan cita, bahwa kelak kita akan dipersatukan. Meski harus terseok-seok bak mencari cahaya di tengah hutan.

Dan, kursi tua menjadi penanda bahwa aku masih membersamai riuh nafas dan gelak tawamu hingga hari ini--mungkin hingga senja tak lagi bersemedi pada pukul lima petang.

Sederhana bukan?

Seperti itulah Allah menerbangkan rasa pada tiap Hamba. Hingga pantaslah sudah, jikalau kita pernah nyaris jatuh, padahal itu hanyalah batu sandungan untuk melompat. Atau kita pernah merasa diterbangkan, padahal itu hanya sekadar angin yang tak lain adalah sapuan laut lepas.

Maka jangan lupakan kodrat, bahwa kita hanyalah manusia biasa.

Manusia punya kaki untuk berjalan. Tapi ada satu waktu, kita harus berlari. Dan juga ada satu waktu, kita harus berhenti.

Selamat bersemedi, senja.

--00:32; baristadiksi--

Syukron, kalo masih setia menjadi pembaca. Jangan lupa like, share and comment🙏

Catatan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang