Candamu Berujung Bisu dalam Candu

340 16 1
                                    

"Karena permata tak akan pernah kita dapat di laut yang dangkal, pun dengan kesetiaan. Kita hanya dapat mendapatkan kesetiaan dengan dua hal, ikhlas dalam untaian doa dan harapan juga sabar dalam menjalani penantian". -S.A-

Langit memberi asa bagi cinta yang berakhir luka. Hadirnya senja dalam rebahan tubuh di kursi tua membuat senyum menari sembari sejenak hilangkan duka dalam ingatan tempo hari. Aku dan siapapun tahu, bahwa memang untuk mendapatkan keindahan harus dengan jalan yang panjang. Dalam prosesnya kita harus pandai merekah dan menerka, bahwa hidup dan rasa tak selamanya baik-baik saja.

Terkadang kita harus panjatkan banyak syukur atas memori duka perihal tetes air mata yang terbuang demi kisah yang begitu panjang. Begitu membekas dalam canda , merobek jiwa dan memberikan gundah.

Sore ini, aku kembali kepada sebuah candu, penantian. Merekah hatimu dalam sajak abstrak tak bermakna namun memberikan tenang dalam raga.

Entah ini benam senja yang keberapa di bulan Desember. Banyak potret indah yang terabadikan dalam senja, namun tidak untuk perihal angan-angan yang masih sebuah nestapa.

Kau tahu apa?

kau, aku, senja, kursi tua dan padang hijau di tepi jembatan itu duduk bersama menikmati candu yang tak semu. Memberi ruang untuk angin mengudara dengan melodinya, juga menahan raga untuk tetap mampu damai dalam rekahan benam senja.

Sore ini aku sedang beranjak menuju padang hijau itu, sembari menunggu banyak asa, termasuk harap agar kau menemani rekahan senja itu tetap indah petang ini.

"nampaknya dia tidak akan datang lagi, hmm", resahku dalam benak karena kau tak kunjung berikan tepuk pada pundakku.

Namun baru saya aku ingin beranjak pergi dengan perasaan resah, kau tiba-tiba hadir dengan rekahan canda.

"Kau menunggu yah, hehe,"

"Ahh nggak kok, PD banget kamu. Aku cuma nggak mood lagi deh nunggu senja hari ini",

"Loh kok gitu, sini dulu lah duduk. Siapa tahu ini senja terakhir yang pertemukan kita", ajakmu kepadaku yang mulai beranjak pergi.

Sontak ragaku terpaku bisu dalam langkah. Aku tak bisa pergi, hatiku melarangku meninggalkan dua hal indah sore ini, dan akhirnya akupun menyerah kepada pintamu.

"Baiklah, aku akan tinggal deh",

"Beberapa hari ini aku lagi nggak bisa ke sini, ada banyak banget tugas jadi maaf yah, hehe",

"Kok minta maaf? kan nggak salah apa-apa..",

"Yaa salah dong, aku kan dulu udah bilang bakalan sering-sering ke sini liatin senja terbenam, soalnya indah banget. Tapi karena banyak hal, akupun susah deh ke sininya",

"Ohh gitu, ya udah deh. Sekarang aku puas. Akhirnya..",

"Akhirnya apa?"

"Akhirnya senja juga bisa liat hal yang indah, bukan cuma dia doang yang dinikmatin benam indahnya. Faham nggak?",

"Nggak, bahasamu tinggi banget yah, hehe".

"Sengaja kok, biar kamu nggak ngerti",

"Apaan coba", candamu sembari kau rapatkan tubuhmu pada kursi tua itu.

Dan akhirnya senja pun hadir dan benamkan diri dengan membawa banyak asa pada harapku, tentang bahagia yang kadangkala menerka juga canda yang berujung rindu tanpa temu. ataupun tentang duka yang menjadi kawan dalam musim panas yang panjang

atas semua candu, kita patut tampakkan riang. Menjaga dan merekah duka menjadi bahagia dalam sendu benamnya senja.

Senyum menjadi kawan yang baik bagi langit yang menyisakan banyak asa dan nostalgia. Tentang cinta, duka dan nestapa yang tak kunjung lenyap adanya.

Tak boleh lagi duka menghardik cerita bahagia dari anak penanti senja dan perintih duka di balik langit jingga.

Maka tersenyumlah. Karenamu, aku masih berdiri sendiri. Menanti senja, menari dan menyembunyikan perih, di balik langit jingga penutup senja.

Untuk insan yang punya kisah,
Dukamu akan berakhir.

*******
"Sebentar lagi hujan Desember pergi yah, kamu nggak akan ikut pergi, kan?".
*******

Dalam alunan nyanyian jangkrik, (04/01/2018).

Catatan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang