Suatu hari
Aku menulis sebuah surat panjang yang panjang ke bulan
Itu tidak akan lebih terang darimu
Tapi aku menyalakan lilin kecilHari itu adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di SMA. Dulu, aku adalah siswa yang sangat pemalu. Aku akan sangat sulit bergaul jika tak diajak bicara terlebih dulu. Diajak bicarapun, aku selalu bingung bagaimana menjawabnya.
Hari itu aku mulai memasuki kelas pertamaku di SMA. Aku mengambil bangku di pojok belakang dekat jendela. Aku suka memandang langit. Karna menurutku, langit itu adalah penggabaran mimpiku. Disukai banyak orang karna keindahannya. Dan akupun ingin disukai banyak orang karna kemampuanku. Semalam aku juga berharap pada sang bulan. Agar aku bisa mendapat banyak teman. Ah tidak! Maksudku satu saja sudah sangat cukup.
Saat itu, acara belajar mengajar telah dimulai. Sampai hampir 15 menit, tiba tiba pintu terbuka dengan kasarnya. Semua mata terfokus padanya. Anak itu, bukan. Maksudku bocah itu. Bocah pendek yang menggebrak pintu tersebut.
"Joseong hamnida. Saya terlambat karna bangun kesiangan." Ujarnya. Kulihat saenim yang menatapnya dengan tatapan marah.
"Hari pertama saja kau sudah terlambat. Bagaimana dengan hari hari selanjutnya? Duduklah. Cari sendiri bangku yang kosong." Jawab saenim dengan nada ketusnya. Anak itu tersenyum lebar sambil mengangguk dengan semangat. Dan tak lupa dia mengucapkan terimakasih pada saenim.
Anak itu berjalan kearahku, maksudku kearah bangku kosong disebelahku. Selesai menaruh tasnya, anak itu tersenyum lebar kearahku. Kemudian anak itu membisikkan sesuatu kepadaku.
"Hei, mau kutunjukkan sesuatu?" Kira kira seperti itulah katanya. Aku diam. Tak menjawab. Bukan bermaksud sombong atau apa. Tapi aku bingung harus menjawab apa. "Diam, kuanggap kau setuju." Ujarnya. Aku hanya diam. Anak itu mengalihkan pandangannya kedepan. Memperhatikan saenim sepertinya.
.
.
.
.Bel istirahat berbunyi. Selesai membereskan peralatan belajarku, aku sebenarnya berencana pergi ke kantin. Tapi anak itu malah menarik tanganku secara tiba tiba. Dan entah mengapa aku hanya pasrah tanpa melawan. Lama kelamaan aku bingung sendiri. Ini diluar area sekolah.
"Eum...k-kau m-mau mengajakku kemana sebenarnya?" Tanyaku dengan gugup. Anak itu tak menjawab. Sampai akhirnya...
"Sampai." Ujarnya. Aku sedikit ternganga ketika melihat pemandangan di depan mataku. Sebuah danau yang sangat indah. Disekilingnya banyak sekali pepohonan yang membuat pemandangan sekitar danau menjadi semakin indah. Disamping kanan, juga ada bukit. Aku benar benar tak pernah melihat pemandangan seindah ini sebelumnya.
"Aku Park Jimin." Suaranya yang tiba tiba mengagetkanku yang sedang terpesona oleh pemandangan disini.
"Ha?" Bingungku.
"Namaku Park Jimin. Kau?" Ulangnya.
"A-ah... aku Taehyung. Kim Taehyung." Jawabku. Anak itu mengangguk kecil. Kemudian dia berjalan mendekati sebuah pohon yang menurutku paling besar disekitar sini. Aku hanya menatapnya bingung. Anak itu, maksudku Jimin, dia mengambil sesuatu dari saku celananya. Ah, silet rupanya. Anak itupun mulai mengukir sesuatu di pohon besar itu dengan siletnya.
"Selesai." Ujarnya.
"Apa yang kau tulis?" Tanyaku.
"Lihat sendiri. Kau bisa membaca, kan?" Godanya. Akupun melangkahkan kakiku menuju pohon besar itu. Dan..
'Kim Taehyung
Park Jimin
Sahabat Selamanya'Seperti itulah kira kira yang ia tuliskan di pohon besar itu. Aku manatapnya dalam. Anak itu hanya tersenyum kecil kemudian berjalan mendekatiku.
"Mulai sekarang, kita adalah sahabat. Apapun yang kau butuhkan, jangan segan untuk meminta bantuan padaku. Aku akan selalu siap membantumu. Dan, jika kau ingin mencariku. Datanglah kesini. Aku slalu disini." Ujarnya sambil tersenyum tulus padaku. Akupun hanya menatap lekat matanya. Mencari titik kedustaan pada setiap ucapannya. Dan yah....aku tak bisa menemukannya.
.
.
.Dari hari itu aku sadar. Dia, bocah pendek bernama Park Jimin, adalah seorang yang tulus mengatakan padaku bahwa.....
.
.
.Park Jimin dan Kim Taehyung adalah sahabat selamanya, hingga maut yang memisahkan.