Aku mengumpulkan diriku sendiri yang hancur dibawah sinar rembulan
Aku memanggilmu anak bulan
Kita adalah anak-anak bulanHari itu adalah tanggal 13 oktober. Aku tahu bahwa pada hari itu, Park Jimin sedang berulang tahun. Akupun sudah menyiapkan kado istemewaku untuknya. Tidak istimewa juga sih. Karna kadoku terbilang murah. Aku hanya memberikannya sebuah sepatu olahraga yang murah. Karna aku tau dia suka menari. Jadi aku menghadiahkan itu untuknya.
Tepat pukul 00.01 pada tanggal 13 oktober, aku telah sampai di danau biasa tempatku bertemu dengannya. Kali ini aku tak ingin meneriakkan namanya. Jadi aku mencarinya ke segala tempat. Mulai dari atas pohon sampai ke bukit. Dan ternyata, dia ada disana. Di atas bukit dengan buku dan alat tulisnya. Aku tidak yakin, tapi sepertinya dia sedang menulis sesuatu yang penting. Hal itu terlihat dari garis wajah seriusnya.
"Jimin?" Panggilku. Dia menoleh dan detik berikutnya ia tersenyum kearahku. "Kau sedang apa?" Tanyaku. Dia kembali pada aktifitas awalnya.
"Tidak ada. Hanya menggambar sesuatu." Jawabnya.
"Apa?" Tanyaku lagi. Karna jujur untuk kali ini aku benar benar penasaran.
"Kau." Jawabnya.
"Oh-" "Tunggu. Aku? Kau menggambar diriku? Aku Kim Taehyung yang tampan?" Hebohku. Kulihat dia hanya tersenyum simpul sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
"Emm...jim. Apa orangtuamu tak pernah menjemputmu? Kurasa setiap saat kau selalu disini." Aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Bukan tak pernah. Tapi belum saatnya, tae. Kau tak perlu khawatir. Aku sering pulang kerumah kok. Tapi rumahku. Bukan rumah orangtuaku." Jawabnya. Akupun hanya ber-oh ria.
"Saengil chukkae." Ujarku, menyerahkan kadoku tanpa menatapnya. Aku malu, sungguh. Kulirik dia yang sedang terkekeh sambil menerima kadoku.
"Gomawo. Kau orang pertama yang mengucapkannya." Ujarnya.
"Benarkah? Wah..berarti hanya aku adalah orang yang paling menyayangumu, jim."
"Mungkin. Setelah orangtuaku tentunya." Jawabnya. Setelahnya kami sama sama diam dengan aktifitas masing masing. Aku yang sibuk memandangi langit malam. Dan dia yang sibuk menyelesaikan gambarannya. "Jim, kapan kau akan membawaku ke rumahmu?" Tanyaku memberanikan diri.
"Belum tae. Tunggu sebentar lagi." Jawabnya. Huft...baiklah aku akan menyabarkan diri. Kulirik Jimin yang menutup buku sketsanya.
"Kau tau? Aku sangat menyukai bulan. Jika aku punya masalah entah itu kecil atau besar sekalipun, aku akan selalu menceritakannya pada bulan. Dan itu berhasil. Jadi, jika suatu saat aku tak ada saat kau ingin berkeluh kesah, maka berceritalah pada sang bulan." Ujarnya tiba tiba.
"Kau berkata seperti akan menghilang saja, jim." Jawabku. Dia terkekeh mendengar jawabanku.
"Namanya takdir tak ada satu orangpun yang tau, tae." Jawabnya lagi.
Deg!
Kenapa kurasa dia seperti sedang berpamitan padaku? Jika kuperhatikan lagi, tubuhnya memang semakin kurus dari hari ke hari. Tapi, kulihat wajahnya segar segar saja.
"Kau, tidak sedang sakit parah dan kemudian akan mati kan jim?" Tanyaku. Entah mendapat keberanian dari mana diriku. Dia terkekeh. Lagi dan lagi.
"Kau senang kalau aku sakit dan mati?" Tanyanya yang tentu langsung kubalas dengan gelengan kuat kuat. "Haha. Aku bercanda. Memangnya aku kelihatan seperti orang sakit? Jangan khawatir. Aku tidak sedang sakit. Aku sehat." Jawabnya. Aku menatap matanya lekat. Dia tidak berbohong.
Huft..satu napas lega kuhembuskan saat itu.
"Kau mau tau sesuatu?" Tanyanya.
"Apa?"
"Jika aku merindukanmu, aku akan menatap bulan atau matahari. Karna bagiku kau sudah seperti mereka. Selalu bersinar walau menyimpan banyak beban berat."
Begitukah? Baiklah. Mulai sekarang akupun akan memandang matahari dan bulan jika aku merindukannya.
.
.
.Hari itu, kukira aku menyimpulkan bahwa Park Jimin adalah seorang yang puitis. Tapi setelah kupikir pikir bukan seperti itu. Melainkan...
.
.
.
.Park Jimin itu unik. Dia memiliki banyak cara untuk menghilangkan semua masalahnya.
