Bahkan hari ini, aku hidup dengan moderat
Aku berjalan dengan kecepatan, dengan perlahan mengenakannya
Matahari mencekikku
Dan dunia menelanjangiku
Aku tidak bisa menahannya, tidak ada jalan lainMasih ingat saat aku mengatakan bahwa Jimin tak berangkat ke sekolah hampir 1 bulan lebih? Dan rupanya, hal itu masih berlanjut sampai sekarang. Bahkan ini sudah hampir kenaikan kelas. Tapi aku tak pernah melihatnya di sekolah. Aku sangat ingin bertanya padanya. Tapi aku belum cukup berani bertanya. Bukan hanya takut akan jawabannya. Tetapi aku juga takut akan merusak privasinya. Tapi bagaimana? Aku sungguh ingin tau tentang hal itu. Dan kupastikan, hari ini aku harus betanya padanya. Harus.
.
.
.Malam itu, aku memutuskan untuk datang ke danau saat tengah malam. Aku berniat untuk menanyakan langsung tentang alasannya yang tak berangkat sekolah. Walaupun aku tak yakin dia ada disana. Karna aku tak pernah mengunjungi danau saat tengah malam.
Sesampainya, seperti biasa. Aku akan berteriak memanggili namanya. Mengedarkan pandanganku kesegala arah untuk mencari keberadaannya.
"Tae?" Suara itu. Suara yang sangat familiar bagiku. Dan suara yang sudah lama tak kudengar. Aku memang tak pernah lagi mengunjunginya sejak hari itu. Hari dimana para siswa disuruh berkumpul di aula. Masih ingat?
Aku menoleh dan mendapati dirinya dengan tampilan yang berbeda. Sangat berbeda. Aku sangat ingat. Dulu rambutnya berwarna orange. Sekarang rambutnya berwarna abu abu. Dulu dia gemuk dengan pipi mochinya. Sekarang anak itu bertambah kurus. Memangnya apa saja yang kulewatkan selama ini?
"Jim? Kau..." Aku ingin bertanya. Tapi entah kenapa mulutku seperti tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah katapun.
"Hm.. aku tau. Aku putus sekolah, tae." Ujarnya. Itu adalah pertama kalinya dia memberi tauku sebuah alasan. "Untuk kenapa? Aku tak bisa menjawabnya. Maaf." Lanjutnya. Dan aku sedikit kecewa dengan jawabannya. Aku hanya diam. Tak mengatakan apapun setelahnya.
Keheninganpun menguasai sekitar kami. Kami sama sama disibukkan dengan pikiran masing masing.
"Kau, lama tak kemari." Ujarnya. Aku menoleh. Dan akupun melihat ada gurat kecewa diwajahnya. Aku tau itu. Karna jujur akupun merasa kecewa pada diriku sendiri yang selalu menunda untuk menemuinya.
"Aku..." Entah kenapa otakku tak dapat mencari alasan untuk memberinya jawaban yang tepat.
"Jangan mencari alasan. Aku tau kau hanya menunda." Ujarnya lagi. Aku lupa kalau dia bisa membaca pikiran. Keheninganpun kembali menguasai atmosper sekitar kami.
"Emm...jim, kenapa tengah malam kau ada disini?" Tanyaku.
"Aku slalu berada disini kalau kau lupa." Jawabnya. Apa dia tak pernah pulang? "Aku pulang kalau sudah waktunya." Ujarnya lagi seakan menjawab pertanyaan dalam pikiranku. Sekali lagi aku lupa bahwa dia bisa membaca pikiranku.
"Kapan?" Akupun memberanikan bertanya walaupun kutau jawaban apa yang akan ia lontarkan.
"Kalau orangtuaku sudah menjemputku." Jawabnya. Aku sedikit terkejut mendengarnya menjawab pertanyaanku. Ini yang kedua kalinya.
"Rumahmu dimana, jim? Bolehkah aku main kerumahmu?" Tanyaku lagi. Dia langsung menggeser tubuhnya untuk menghadapku. Ia memegang tanganku sambil tersenyum. Senyum yang sangat kurindukan. Senyum yang sangat lama tak kulihat.
"Rumahku jauh. Bukan tak boleh untukmu bermain dirumahku. Tapi, kau tak akan betah berada dirumahku. Pada saatnya nanti aku akan memberitahumu." Jawabnya. Kemudian dia berdiri. "Ayo kuantar pulang. Kau harus sekolah besok." Lanjutnya. Aku hanya menatapnya heran. Tapi dia tersenyum simpul sambil mengangguk menyakinkanku. Akupun mulai berdiri. Kami saling merangkul dan berjalan menuju rumahku. Di sepanjang perjalanan menuju rumahku, kami hanya tertawa, bercanda ria layaknya sepasang sahabat pada umumnya. Eh..bukankah kami memang sahabat?
.
.
.Usai hari itu, aku menyimpulkan. Bahwa....
.
.
.Park Jimin tetaplah Park Jimin. Si bocah misterius yang akan tetap misterius. Si bocah penyabar yang akan tetap menjadi penyabar.