9

5.5K 501 16
                                    

Ali memasuki rumahnya dengan penampilan yang acak-acakan. Pembantunya yang membukakan pintu untuknya bergedik ngeri melihat keadaan Ali yang cukup mengenaskan.

Ali berjalan dengan langkah sempoyongan menaiki tangga. Sesekali di setiap langkahnya ia menggeram frustasi. Keadaan yang membuatnya seperti itu. Keadaan juga yang membuatnya kehiangan separuh jiwanya, penyemangat, dan pelengkap hidupnya.

Tibanya di kamarnya. Ali membanting seluruh benda-benda yang berada di dalam kamarnya. Tak perduli meski harganya mencapai ratusan bahkan milyaran rupiah. Saat ini yang ada dalam pikirannya adalah meluapkan semua emosi yang bergejolak dalam tubuhnya. Menumpahkan semua kekesalannya yang membebaninya.

"Arrgghhh ...."

PRANGGG

Ali meninju cermin yang berada di dalam kamar mandi sampai retak tak berbentuk.

TES

TES

TES

Tangannya yang terkepal mulai mengeluarkan darah. Setetes. Dua tetes. Sampai berpuluh-puluh tetes darah mengotori lantai kamar mandi yang putih bening.

Nafasnya memburu menatap bayangannya pada cermin yang retak. Matanya memerah dan rahangnya mengeras. Rasanya ia ingin berontak dan lari dari semua masalahnya tanpa harus melepaskan seseorang yang membuatnya nyaman.

"Arrgghhhh ...," erangnya yang semakin menjadi-jadi dengan menendang dinding dan membenturkan kepalanya ke dinding berkali-kali. Tangannya mengacak bahkan menjambak kuat rambutnya.

"Gue benci hidup gue. Argh ...."

PRANG

Ali kembali meninju cermin sampai cermin tersebut benar-benar hancur tak berbentuk. Tak terasa air matanya menetes. Ia mengalami tekanan batin karena ulah orang-orang terdekatnya. Ia sangat benci kepada semuanya. Ia tak memiliki harapan hidup lagi di saat batinnya tersiksa oleh keadaan. Tak ada yang peduli lagi padanya. Ia benci, sangat benci!

Setelah emosinya mereda. Ali membersihkan lukanya dan segera mandi.

Ali memakai baju polos hitam di baluti jaket berwarna dongker dengan setelan celana hitam. Penampilannya sangat mengenaskan. Apalagi dengan tangan kanannya yang terdapat bekas luka akibat meninju cermin di kamar mandi.

Setelah rapi, ia menyambar kunci mobilnya dan beranjak meninggalkan kamarnya. Ali mengabaikan teriakan pembantunya yang menyuruhnya makan karena sejak pulang sekolah perutnya belum terisi.

Ali memasuki mobilnya dan mengendarainya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ali seperti kesetanan, ia sama sekali tak memikirkan keselamatannya. Ia menerobos lampu merah dengan santainya tak perduli umpatan pengendara lain karena ia yang menyetir secara ugal-ugalan.

Kali ini yang Ali butuhkan adalah ketenangan hati dan jiwanya. Ia butuh hiburan yang nanti membuatnya melupakan sejenak masalah yang menimpanya. Dan, pikirannya tertuju pada Prilly. Gadis itu selalu memenuhi setiap otak dan pikirannya. Tapi ketika mengingat kesalahannya kepada gadis itu. Membuatnya di selimuti rasa menyesal, menyesal teramat dalam. Ia merutuki kelakuan bodohnya itu yang membuat Prilly sakit hati.

Tapi tidak ada cara lain agar Prilly menjauh darinya. Hanya cara itu yang tepat baginya. Mungkin.

Mobil Ali terparkir di depan kafe tempat Prilly berkerja. Ia tak tau kenapa ia memarkirkan mobilnya di kafe tersebut. Hatinya yang membawanya ke kafe tersebut. Ia sangat merindukan Prilly. Ia tak egois jika ia sangat merindukan gadis cantik itu.

Matanya terpejam untuk beberapa saat menetralisir rasa sakit di tangan, bahkan di sekujur tubuhnya. Perutnya nyeri, mungkin karena ia tidak mengisi perutnya dengan makanan. Tadi saat di sekolah saja ia hanya meminum minuman soda. Setelahnya tak ada makanan masuk, hanya rokok yang ia hisap sebagai pengalih emosinya.

PerforceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang