2

7.7K 564 8
                                    

Bel pulang berbunyi, semua murid mengemasi alat-alat tulisnya ke dalam tas masing-masing. Tak terkecuali Prilly dan Indah, setelahnya mereka beranjak keluar kelas diikuti yang lain. Akan tetapi, langkah keduanya terhenti saat melihat Ali yang tengah bersandar di ambang pintu dengan menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

Ali tersenyum miring melangkah mendekati mereka. Ah! Lebih tepatnya mendekati Prilly. Indah mengenggam erat tangan Prilly, takut jika Prilly di apa-apakan oleh Ali, karena menurut info yang ia dengar Ali merupakan tipe cowok yang kasar dan tempramental akibat kelalaian kedua orang tuanya yang sibuk bekerja daripada sibuk mengurus Ali.

"Yuk!" Ali menarik pelan lengan Prilly.

Prilly melirik sekilas ke Indah yang di balas gelengan kepala dan dengan raut wajah cemas seolah mengatakan 'Gue takut lo kenapa-kenapa!'

Prilly kembali menatap Ali dan melepaskan tangan Ali yang mencengkeram lengannya.

"Maaf ya Li, aku harus kerja." tolaknya dengan lembut takut membuat Ali marah atas penolakannya.

Indah memejamkan matanya, rasa takut menyelimutinya. Rasa khawatir menguasainya, takut jika sahabatnya menjadi korban Ali.

"Yaudah gue temenin." jawab Ali santai dan menarik kembali tangan Prilly meninggalkan Indah sendiri.

"Eghh.." Prilly pasrah mengikuti Ali sambil sesekali melirik Indah yang masih diam mematung.

Indah mematung di tempatnya, wajahnya melongo tak percaya. Entah seperti ada yang berbeda dari Ali. Tapi, ia hanya bisa berdoa semoga sahabatnya tidak di apa-apakan oleh Ali.

. . .

"Ini tempat kerja lo?"

Prilly yang tengah mengelap meja menoleh ke Ali yang duduk di salah satu meja caffe yang letaknya dekat dengannya.

"Iya, ini tempat aku bekerja. Kenapa?"

"Baru kali ini gue liat anak SMA yang bekerja sehabis pulang sekolah." jawab Ali menatap gerak gerik tubuh mungil Prilly yang gesit mengelap meja caffe.

Prilly menyunggingkan senyumnya.

"Ini semua aku lakuin itung-itung buat bantu ibu."

Ali mengernyit.

"Lah, bapak lo gak kerja?"

"Bapak aku udah bahagia di sisi-Nya." Prilly menghapus air mata yang tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk matanya.

Ali yang melihatnya merasa iba, ingin merengkuh tubuh mungil yang rapuh itu rasanya tak mungkin karena rasa gengsi yang di milikinya sangatlah besar. Ia hanya bisa berdehem mengangguk-angguk mengerti mencoba acuh meski terdapat rasa tak enak dalam hatinya.

"Ali, aku ke belakang dulu ya mau ambil pesanan pelanggan. Kamu gak papa kan sendiri?" tanya Prilly saat ingin beranjak ke dapur.

"Yaudah sana gue gak papa." Ali acuh sibuk memainkan ponselnya.

Ali menguap karena rasa penat menghampirinya, sesekali matanya melirik ke jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangannya.

"Jam sepuluh." gumamnya tak percaya.

Ia menatap pelayan caffe yang berlalu-lalang membersihkan caffe karena ceffe memang akan tutup. Matanya memicing menatap gadis bertubuh mungil yang sejak tadi sore pulang sekolah ia tunggui. Lagi lagi ia menguap, rasa kantuk menyerangnya. Tanpa sadar ia terlelap di meja caffe dengan bertumpu tangannya yang ia lipat di atas meja.

"Li...Ali."

Samar samar Ali mendengar suara lembut membangunkannya dan tangan halus mengelus lembut pundaknya. Ia membuka matanya yang sedikit berat, saat kesadarannya terkumpul. Ia baru sadar jika ia masih berada di caffe tempat Prilly bekerja. Ia melirik gadis yang membangunkannya, Prilly!.

PerforceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang