Part 8: Pujangga Sastra

10 2 1
                                    

Hari ini pada saat siang-siang terik seperti ini, cowok berbadan tinggi jangkung ini sudah menginjakkan kakinya di depan butik kebanggaan seseorang.

"Ada yang bisa dibantu?" sapa pegawai yang tengah bertugas.

"Saya ingin menemui yang punya butik ini." ucap Reza dengan memasukkan tangannya ke dalam saku celana hitamnya.

"Maaf dek, ada keperluan apa ya?" tanya Mbak-Mbak satu lagi yang berdiri di belakang meja kasir.

"Ada keperluan" tandas Reza yang kemudian membuat sesi pertanyaan itu berhenti.

Sebenarnya dia bisa saja memasuki ruangan berukuran sedang itu tanpa harus izin terlebih dahulu.

Tapi karena pegawai butik ini baru jadi mau tak mau dia harus bersikap seperti orang tak kenal pada semuanya.

Sesampainya ia di depan pintu kaca ini, ia dipersilahkan masuk setelah Mbak yang tadi meminta izin.

Senyum Reza tersungging. Wanita yang tengah bergulat dengan berbagai berkas di atas mejanya, mendongakkan kepalanya. Seketika kecanggungan merebut oksigen masing-masing.

"Sudah selesai kamu berhibernasi sampai tidak mau saya temui dan saya ganggu?"

Tiba-tiba suara wanita di hadapannya ini menyeruak memasuki gendang telinga.

"Anda tidak ingin membiarkan saya duduk terlebih dahulu?" sahut Reza tampak sarkas.

Laki-laki ini menarik kursi di hadapan wanita yang lebih tua darinya itu.

"Apa yang ingin kamu sampaikan kepada saya? Kalau tentang adik kamu atau tentang kamu yang kekurangan, silahkan keluar dan nanti malam dibicarakan di rumah saya." Tangan laki-laki ini terkepal kuat. Kepala nya tertunduk pasrah.

Laki-laki Ini --Reza-- menyunggingkan senyumnya. Cukup sakit hati dia karena terlalu dianggap sebelah mata oleh ibunya. Ternyata pergi dari rumah selama beberapa bulan tidak membuat hubungan dia dan ibunya baik. Malah terkesan lebih sulit.

"Apa yang kamu katakan itu benar nyonya. Aku kekurangan. Bukan harta, tapi kasih sayang darimu. Awalnya kukira, aku keluar dari rumah itu akan berdampak baik untuk adikku." dia menghela nafas sejenak, tundukkan kepalanya semakin dalam.

"Tapi ternyata, dia sama tenggelamnya denganku" lanjut Reza dengan menengadahkan kepalanya dan menatap mata perempuan di depannya itu.

"Lanjutkan saja di rumah nanti. Aku tengah sibuk."

"Sesibuk itu sampai menatap wajahku saja enggan dan mendengarkanku terasa sulit? Ternyata uang mengubah Ibu sampai sejauh ini"

Kata ibu yang diucapkan membuat perempuan di depannya itu berhasil membuatnya melupakan cara bernapas sejenak.

Tak tahan dengan percakapan yang tak ada kemajuannya ini, Reza memundurkan kursi dan bangkit dari posisi awalnya.

Tanpa prakata lagi yang keluar dari mulut Reza, dia keluar dari ruangan itu yang sudah pengap dengan omong kosong.

***

Qiran tengah duduk di sebuah meja cafe dengan dua manusia yang berlainan watak satu sama lain.

Kedua manusia di depannya ini tengah cek-cok perkara hal sepele berkaitan dengan tugas yang judulnya harus di bold atau di italic serta font berapa.

Radit mulai mencari di handphonenya tentang tata cara membuat makalah yang benar.

Adiib juga membuka handphone-nya tapi nyatanya ketika notif chat mulai bermunculan, Adiib mulai lupa dengan tujuan utamanya membuka handphone-nya.

"Diib liat Diib liat!" Radit mulai berbicara tidak santai kepada Adiib yang langsung ngucap sumpah serapah untuk Radit karena membuatnya kaget setengah mati.

QIRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang