Qiran kelas 5 SD
Waktu pembagian raportQiran sebenarnya dari jauh-jauh hari, udah bilang sama Ibu untuk dateng ke pembagian raport hari ini. Karena kalau bilangnya dadakan, dia gak akan di respon sama sekali. Tapi, ternyata Ibu lupa sama omongan Qiran waktu itu. Ayah yang masih santai di rumah akhirnya pergi buat ngambil raport Qiran. Ayah bangga karena Qiran dapet nilai yang naik, walaupun enggak juara, setidaknya ia tau kalau Qiran tidak main-main selama belajar.
Pulang dari sekolah naik motor Ayah, Qiran nunjuk es krim di sebrang jalan. Ayah menepi dan masuk ke toko es krim itu. Qiran ikut juga. Dia memilih rasa coklat, dan satu nya lagi rasa vanila untuk Bang Reza.
Pulang dari toko es krim dengan membawa punya Bang Reza aja, dia peluk Ayah erat banget, seakan Qiran tau kalau beberapa bulan kedepan akan terjadi yang tidak beres.
Turun dari motor Ayah dia langsung nyamperin Bang Reza untuk ngasih es krimnya. Qiran ganti baju, nungguin Ayah masak padahal Bibi udah masak, dan gangguin Bang Reza yang ambis banget dari dulu. Sampai dia paham sejarah karena kalau Abangnya itu marah-marah yang keluar bakalan sejarah sesuatu.
"Yah gimana Qiran nilainya? Pasti jelek nih? Yakan?" tanya Reza yang langsung dipukul sama Qiran. Soalnya Qiran udah seneng banget karena pas ngambil raport tadi sampe ke motor Ayah yang parkir di halaman sekolah, Ayah ngelus kepala Qiran terus.
"Enggak Bang, bagus kok, naik nilainya. Ya kan Ran?" Ayah senyum liat Qiran, masih dengan sorot bangga. "Abang gimana tadi?" lanjut Ayah bertanya sama Reza.
Reza tergagap, spontan jantungnya berdegup dengan cepat,
"Abang turun, Yah," raut sedih Reza mulai terlihat. Ini pertama kalinya Reza merasa bodoh seumur hidupnya. Mengecewakan senyum Ayah dan Ibu.
Ayah berjalan ke arah tempat duduk Reza, mengusap rambut Reza dengan tatapan sama bangganya yang tidak pernah terlihat luntur di wajahnya, dan berkata
"Kamu gak pernah ngecewain Ayah sama Ibu. Ayah tetap bangga sama kamu Bang"
Reza menangis sesegukan setelah selesai Ayah bicara. Dan Qiran mulai memeluk Reza dari samping sebagai penambah semangat.
***
Qiran melamun. Bell membuatnya buru-buru sadar dengan apa yang dia lakukan sejak tadi. Ia tiba-tiba kangen Ayah. Sudah 4 tahun juga dia tidak bertatap muka dengan superhero satu itu. Iri ketika teman-temannya dijemput orang tua mereka, iri ketika kerja kelompok bisa di rumah mereka, iri ketika Ayah mereka bisa diajak bicara, dan iri yang semakin menggebu-gebu ketika mereka masih merasakan pelukan hangat itu.
Tapi mereka tidak salah, Qiran yang terlalu memandang perspektif yang tinggi.
Istirahat kali ini, ia diajak Adiib untuk ke ruang mading. Kata Adiib sih dia mau ngasih sastra yang ditawarkan sama anggota mading padanya.
"Kok kamu yang nganter sih Diib? Kok enggak mereka yang ambil aja?" tanya Qiran di persimpangan koridor.
"Kata mereka sih, mereka lagi sibuk banget, soalnya kan pergantian mading besok, jadi harus selesai nanti gitu. Jadi gue dengan berlapang dada gue anter aja deh soalnya juga gak ngerepotin banget. Oh atau lo yang ngerasa direpotin ya Ran? Maaf ya soalnya gue gak tau lagi siapa yang bisa diajak. Si Radit tadi tiba-tiba disuruh ke ruang guru gak tau dah kenapa,"
Qiran sih gak keberatan, dia suka-suka aja diajak Adiib, kan sekalian bisa gerak juga. soalnya kaki Qiran kayak sering sakit gitu, mungkin karena dia kelamaan diem diri kali ya.
"Eh iya Diib, aku boleh baca sastranya gak?"
Adiib yang lagi bales sapaan dari anak kelas lain langsung berhenti di tempat, Qiran yang tau kalau Adiib lagi gak di sampingnya juga kontan berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
QIRAN
Teen FictionSeputar hidup Qiran yang hanya sekolah dan rumah. Semakin lama, rumah tidak pernah dia rasakan lagi menjadi rumah yang sesungguhnya. Yang dia rasakan hanya bangunan yang sepi, dan dia harus bertahan di dalam. Qiran tidak merasakan pulang lagi. Sehin...