Hèllo

8.9K 386 47
                                    

Di hari yang sendu ini aku meraung dalam sepi. Berteriak dalam hening bahkan tertawa dalam dusta. Inikah yang dinamakan hancur?

Namaku Aey. Usiaku baru menginjak angka 20 bulan depan. Namun sepertinya keadaan tidak memihakku eh? Aku melihat orang tuaku bertengkar setiap hari, kakakku yang pergi meninggalkan kota ini dan kesulitan ekonomi yang menyebabkan munculnya penagih-penagih hutang sialan dirumahku sudah menjadi rutinitas. Wah sungguh mengesankan bukan hidupku? Aku fikir hal klise semacam ini hanya ada di dalam novel atau sinetron picisan diluaran sana.

Aku melangkahkan kakiku keluar dari rumah lusuh dan kecil yang tidak lebih dari 7 x 12 meter persegi ini. Hawa sesak langsung menyambutku. Wah bahkan alam pun tak mengizinkanku berbahagia? Aku melanjutkan langkah kakiku ke arah perempatan gang di depan jalan menuju halte bus terdekat. Suhu udara yang menyentuh angka 2 derajat sama sekali tidak membantu. Ku eratkan jaket tebal yang membungkus tubuhku.

"Aey?"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Lelaki bertubuh tinggi dengan balutan coat panjang berwarna khaki sedikit berlari kecil kearahku.

"Pete?" Sapaku.

"Mau kemana malam-malam begini?" Balasnya.

"Bar. Ada apa?"

"Bekerja?" Tebaknya penasaran.

"Ya." Aku menjawab sambil mengangguk kecil.

Pete adalah salah satu tetanggaku di pemukiman distrik x ini tapi percayalah ia hidup dengan baik di kawasan terelit distrik ini, bukan sepertiku yang tinggal di bagian kumuhnya. Aku menatap tubuhnya yang tinggi dengan warna kulit putih merona membuatnya terlihat seperti artis dari boygrup yang sering terpampang di pamflet sudut kota. Kami tidak begitu akrab namun cukup mengenal satu sama lain untuk bersapa salam.

"Jika aku ikut denganmu apa kau keberatan, Aey?"

Aku mengerutkan perempatan dahiku. Tunggu, untuk apa lelaki macam Pete ingin ikut denganku ke bar? Ia terlihat tidak cukup berani untuk melakukan hal semacam itu.

"Ada apa? Kau ada masalah?"

"Bisa nanti saja menjelaskannya?" Matanya memohon membuatku kelu untuk menolak.

••••••••••

Kami berdua berakhir di bar tempatku bekerja. Aku reflek menggenggam tangan dinginnya begitu masuk kedalam. Ia otomatis menjadi tanggung jawabku bukan?

"Aey, kenapa-?" Ucapnya terputus.

"Tidak apa-apa. Aku hanya berjaga-jaga saja."

Ia menatapku bingung. Sejak masuk ke dalam bar, aku dapat merasakan berbagai macam tatapan tidak menyenangkan dari beberapa orang yang melintas. Nafsu tersirat jelas di dalam fikiran mereka membuatku merasa was-was dengan pria yang berada digenggamanku ini. Aku tidak mungkin melepaskan Pete sendirian. Aku masih cukup waras untuk tidak melemparkan daging segar ke dalam kandang harimau.

"Aey?" Panggil Pete saat kami tiba di ruang ganti.

"Ya?" Aku menjawab sambil mendudukkan Pete di kursi kecil yang terletak persis disampingku. Aku mulai membuka loker nomer 12 untuk berganti pakaian.

"Kenapa kau mengajakku kesini? Maksudku kenapa kita tidak berpisah di pintu masuk saja? Aku tidak mau mengganggumu bekerja, Aey."

"Tidak. Kau tidak boleh jauh dariku."

Aku bisa melihat ia membulatkan mata sipitnya. Bibir tipisnya pun ikut melongo. Dalam sepersekian detik aku dapat melihat pipinya menghangat meski tidak begitu jelas tersamarkan remangnya lampu. Aku hanya tersenyum kecil melihatnya. Setidaknya Pete berhasil membuatku tersenyum.

Love by ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang