First

4.3K 281 47
                                    

Note : Ini menggunakan author POV yaa.

Dobrakan keras dari arah pintu membuat Aey terlonjak dari tidurnya. Matanya menyipit menyesuaikan kilatan cahaya yang masuk dari arah jendela. Ia mendudukkan dirinya pelan sambil menggelengkan kepala berharap rasa pusingnya hilang seketika.

Ia melangkahkan kaki keluar kamar. Pemandangan pertama yang ia dapati adalah satu-satunya vas bunga berukuran besar di ujung ruangan telah terpecah dihadapan lelaki tua berparas suram. Disisi lain Tar–adik lelakinya–meringkuk di balik meja tamu.

"Pergilah." Ujar Aey malas.

"Oh kau ada disini rupanya. Mana ibumu?"

"Tidak ada. Pergilah."

"Kau menyembunyikan ibumu?"

"Tidak. Pintu keluar ada disampingmu, jika kau tidak keluar mungkin kakiku yang akan melakukannya."

"Dasar bedebah sialan." Ucap pria tua tersebut sambil berlalu.

Aey mengusap wajahnya sambil mendengus kasar. Emosi benar-benar menguasainya namun sebelum hal itu membuatnya meledak, lelaki mungil dihadapannya sudah berlalu sambil bersungut-sungut.

"Kak, apa sebaiknya kita pergi saja?"

"Pergi kemana? Hey kau ini lelaki Tar, kenapa penakut sekali sih."

Aey tersenyum kecil sambil mengelus kepala adiknya pelan.

"Pergilah ke rumah bibi Han. Bawa bajumu dan katakan padanya kau akan menginap sampai aku menjemputmu."

"Kenapa harus aku yang ke bibi, Kak?"

"Aku tidak perlu menjelaskannya bukan?"

Tar mengangguk patuh dan berjalan lesu kearah kamar. Aey hanya terdiam mentap adik satu-satunya untuk waktu yang lama.

••••••

Hari ini tepat tiga hari setelah pertemuan Aey dengan Pete berlalu. Sedikit banyak Aey memang merindukan lelaki tersebut. Entahlah.

"Aey, siapa lelaki yang kau bawa tempo hari?" Tum menghampiri Aey di meja bar dekat tangga panggung.

"Siapa?" Balas Aey malas.

"Yang membuatmu marah."

"Oh itu, temanku."

"Teman? Kau yakin? Astaga kau lamban sekali sih. Sini kasih ke aku kalau kau memang tidak suka." Tum menaik turunkan alis menggoda Aey.

"Simpan omongan tidak bermanfaatmu itu."

Tum terbahak-bahak sambil menyeruput mocktail disamping tempatnya berdiri. Matanya mengitari ruangan yang penuh dengan hiruk pikuk suara musik khas bar pada umumnya.

"Tum, bisa aku izin untuk pulang duluan?"

"Tumben. Mau kemana?" Tanya Tum penasaran.

"Ada hal yang harus aku selesaikan."

"Tentang temanmu itu ya?"

Tum kembali menaik turunkan alisnya menggoda Aey yang hanya memutarkan bola matanya malas. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan yang ada, Aey menepuk bahu kanan Tum sebagai isyarat ia pergi.

"Aey jangan lupa pakai kondom loh, takutnya kebobolan kan susah." Sahut Pond yang tiba-tiba muncul di depan meja bar.

"Tutup mulutmu sialan."

Tawa Pond dan Tum pecah seketika.

••••••••••

Aey menatap layar ponsel yang berada di dalam genggamannya. Pesan terakhir yang ia kirimkan pada Pete satu jam lalu belum dibaca. Aey menggigit bibirnya pelan. Perasaan aneh menyiksanya sejak kemarin. Jantungnya berdenyut menyenangkan saat membayangkan paras manis Pete yang terekam oleh sistem saraf di otaknya. Ia benar-benar merindukannya tanpa alasan yang jelas.

Love by ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang