Kiss

3.7K 221 26
                                    

Aey mendongak mengawasi langit yang masih kelam. Tidak ada cahaya apapun akibat cuaca mendung. Ia lupa membawa jaket tambahan sehingga harus mengeratkan kemeja tipis yang dikenakan. Suasana hatinya sedikit membaik setelah menemui Pete beberapa saat sebelum ia bekerja. Senyuman manis Pete membekas jelas dimemorinya.

"Sudah mau pulang?" Sapa Tum setelah mengunci pintu masuk bar.

"Ya, tapi cuaca sedang tidak bersahabat. Aku takut membeku di jalan."

"Tinggal minta kekasihmu saja untuk menghangatkan tubuhmu kalau membeku." Godanya.

"Kau tertular penyakit mesum Pond? Ingin kusembuhkan dengan kakiku?" Kataku tajam.

"Hahaha ayolah santai saja."

"Jangan terlalu banyak bergaul dengan si mesum itu."

"Hahaha. Oh ya, omong-omong kenapa Pete tadi pulang duluan?"

"Apa yang sedang kau bicarakan?"

"Eh? Kau tidak tau?"

"Apanya?"

"Pete tadi malam kesini. Aku bertemu dengannya dan mengajaknya masuk. Apa dia tidak menemuimu?" Tanya Tum bingung.

"Pete kesini?"

"Ya. Aku juga mengantarkannya ke meja bar belakang."

"Pukul berapa ia kesini?"

"Sekitar pukul 1?"

Aey kebingungan dengan situasi yang ada. Ada perasaan marah ketika tau Pete datang kesini sendirian di jam yang membahayakan namun lebih dari itu, kenapa Pete tidak menemuinya jika memang hal yang dikatakan Tum adalah benar. Ia berada di meja bar belakang terus menerus jadi kemungkinan untuk tidak melihat Pete adalah mustahil. Fikirannya mulai berkabut dan sulit untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

"Kau yakin tadi Pete yang kesini?"

"Hei mataku masih sehat, bung."

"Aku pergi dulu."

Aey berlari ke arah halte bus terdekat. Perasaan gelisah mendominasi hatinya, apa yang membuat Pete tidak menemuinya adalah tanda tanya besar. Ia melirik ke arah arloji yang menempel di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Bus pertama akan beroperasi sekitar tiga puluh menit lagi dan itu membuatnya tidak sabar. Ia memutuskan untuk berlari pulang.

Peluh menetes deras di tubuh Aey setelah sampai dihadapan bangunan megah dengan gaya klasik modern milik Pete. Pagar rumahnya masih terturup rapat dan ia kebingungan bagaimana cara menemui lelaki yang membuatnya gelisah itu. Baterai ponselnya habis karena ia lupa mengisi daya tadi. Ia benar-benar mengumpat dalam hati dengan keadaan menjengkelkan seperti ini. Matanya terus menahan kantuk sambil mengawasi pagar rumah Pete berharap keajaiban terbukanya pagar tersebut.

'Kriet'

Harapannya terkabul. Aey menoleh cepat ke arah pagar rumah yang dibuka oleh wanita paruh baya dengan kantong hitam yang ditentengnya.

"Kau siapa?" Tanyanya kaget.

"Ah saya temannya Pete, apa ia ada di dalam?"

"Oh ini temannya tuan yang waktu itu menolongnya ya? Masuk saja, tuan sudah bangun."

"Apakah tidak apa-apa?"

"Tentu saja tidak apa-apa. Bibi mau membuang ini dulu." Tunjuknya pada kantong yang ia bawa.

"Oh iya, kamar tuan Pete ada di lantai dua sebelah utara."

"Terima kasih, Bi."

Aey melanjutkan langkahnya kedalam rumah Pete. Ia pernah masuk kedalamnya jadi tidak terlalu sulit untuk menjangkau hingga ruang tengah dan menaiki beberapa anak tangga. Terdapat tiga kamar yang berada di lantai dua. Aey memilih langsung mengarahkan diri ke depan pintu kamar yang ditebaknya sebagai kamar Pete dan mengetuknya pelan. Beberapa detik kemudian pintu terbuka dan dugaannya tidak meleset karena matanya langsung beradu tatap dengan bola mata bening Pete.

Love by ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang