Note : Ini menggunakan Pete POV ya.
Selama beberapa hari, hal yang aku lakukan hanyalah terdiam di kamar dengan perasaan sunyi. Jika boleh jujur, pernyataan Aey beberapa waktu yang lalu memang benar-benar mengusikku. Aku merasa diriku menjadi orang yang dungu. Perhatian yang Aey berikan mungkin terlihat normal untuk hubungan pertemanan, hanya saja aku yang terlalu berlebihan dengan berbagai imajinasiku. Perasaan kecewa terus saja menghantam relung hatiku. Tapi aku tidak mengerti kecewa seperti apa yang aku alami. Bahkan lebih jauh, aku tidak faham apa yang aku inginkan dari hubunganku dengan Aey. Kami memang berteman, bukan?
Ponselku berdering berulang kali membuat pandanganku mengarah pada benda pipih tersebut. Nama Aey menjadi sangat sering muncul di layar semenjak pulang dari liburan singkat bersama kemarin minggu. Aku berulang kali meyakinkan diri untuk tidak mengangkat panggilan Aey, aku tidak mau suara sengauku terdengar diujung sana. Aku belum siap, sama sekali belum siap menghadapi Aey. Namun tanganku bergerak tidak sejalan dengan apa yang aku fikirkan. Aku berakhir mendengarkan suara Aey untuk pertama kalinya sejak beberapa hari lalu.
"Halo, Pete apa yang terjadi? Kau baik-baik saja? Kenapa baru mengangkat panggilanku? Apa ada hal buruk yang terjadi?" Pertanyaan beruntun dari ujung telepon berhasil membuatku memejamkan mata dengan erat. Ini yang aku takutkan, perhatian Aey benar-benar akan menghancurkan pertahanan diriku.
"Ya... halo, Aey. Aku baik-baik saja kok." Jawabku hati-hati.
"Pete kau sakit?"
"Tidak, aku sehat. Kenapa Aey menghubungiku?"
"Pete marah?"
Tidak ada hal menyakitkan yang dilakukan oleh Aey padaku, namun liquid bening menetes membuat pipiku basah tanpa alasan yang jelas. Aku mencoba menenangkan diriku dengan menghirup nafas dalam-dalam, hanya saja rasa sesaknya tidak menghilang sama sekali. Kenapa sih aku selabil ini?
"Aey.."
"Ya?" Sahutan Aey yang sangat halus membuatku semakin menyedihkan.
"Aku...aku ingin kita.."
"......"
"Bertemu."
"Sebenarnya aku sudah ada di depan rumahmu hehe."
Aku terlonjak dari tempat tidur dan membuka tirai dikamarku. Pandanganku mengarah pada Aey yang sedang berdiri di depan pagar rumah dengan gelisah. Aku menghelas nafas kacau. Bagaimana bisa aku menemui Aey dengan kondisi mengenaskan seperti ini.
"Aey sudah lama disini?" Sapaku saat membuka pagar rumah.
"Tidak sih, aku mengkhawatirkanmu makanya aku kesini." Ucap Aey sambil menggaruk tengkuknya.
"Masuklah."
"Terima kasih."
Kami berdua berakhir duduk berhadapan di ruang tengah. Entah perasaanku saja atau memang begitu, Aey terlihat sedikit gugup dan tidak nyaman.
"Aey kenapa?"
"Hah? Aku kenapa?"
Aku tertawa kecil dan dibalas senyuman gugup dari Aey. Kami terdiam beberapa saat sampai akhirnya Aey menarik pergelangan tanganku. Aku beralih menatapnya dan tatapan kami beradu untuk waktu yang cukup lama.
"Pete, aku minta maaf jika ada kata-kataku yang menyakitimu atau membuatmu tidak suka. Aku tidak mau kita menjadi jauh seperti ini. Katakan padaku apa yang mengganggumu maka aku akan merubahnya." Suaranya sangat menyejukkan hatiku. Aku terperangkap dalam sorotan matanya yang sangat dalam. Aku dapat melihat kekhawatiran di dalamnya. Jantungku berdegub kencang bahkan aku takut Aey dapat mendengarnya. Aku menundukkan kepalaku, sandal rumahan yang aku pakai terlihat jauh lebih menarik saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love by Chance
FanfictionAey sadar jika hidupnya tak mungkin seindah novel atau drama picisan di luaran sana. Tapi setidaknya Pete membawanya ke dalam perasaan yang ia harapkan, jatuh cinta. Ya, Aey jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada pemuda bernama Pete. It's bxb Please don'...