Part 16

15.6K 718 51
                                    

"Wa'alaikumsalam, maaf Mut ini aku Annisa,"

Astagfirullah, kenapa aku harus frontal seperti ini, harusnya aku mengucapkan salam saja, aduh aku jadi tak enak dengan ka Annisa

"Maaf ka, aku kira ka Ilham, ka Ilham ada ka?" tanyaku sedikit kaku,

"Tidak ada, dia lagi di kebun dengan bapak, ada apa? Beri tau aku saja nanti aku sampaikan," terdengar suara ka Annisa berbeda sekali.

Seperti sedang menahan emosi,

Apa ia marah kepadaku?

"Tidak ada ka, aku cuma ingin dengar suaranya aja,"
"Oh mas Ilham sedang sibuk,"
"Ya sudah ka, kalau begitu ass..." ucapku terpotong

"Tunggu, aku ingin bicara sama kamu,"
"Iya ka silahkan,"

Terdengar suara tarikan nafas dari sana
"Mutia, kamu perempuan dan aku juga perempuan, kamu tau kan rasanya sakit di hati? Aku mohon Mutia, menjauh lah dari mas Ilham, biarkan aku bahagia dengan mas Ilham dan anak kami,"

Deg..
Terasa runtuh duniaku saat ini, tega sekali ka Annisa berkata seperti itu padaku, air mata mulai membasahi pipiku, namun mulutku tak bisa berkata apapun.

"Aku ingin mas Ilham seperti dulu, aku ingin yang mas Ilham pikirkan hanya aku, hanya aku yang mas Ilham cintai, aku ingin seperti itu, tak ada penghalang, sudah cukup aku tersiksa mengetahui suamiku berdua dengan wanita lain,"

Suaranya terdengar begitu angkuh,

"Aku sudah bisa memberikan dia seorang anak, jadi aku rasa dia sudah tak membutuhkanmu lagi,"

"Kenapa kakak bicara seperti itu? Tak ingatkah kakak, jika kakak yang memintaku, memohon padaku agar aku menikah dengan ka Ilham, sudah ku tolak lamaran kakak namun kakak tetap memohon kepadaku, apa kakak lupa?"
Akhirnya aku berani mengungkapkan isi hatiku.

"Itulah bodohnya aku, seandainya aku tak memohon kepadamu, mungkin mas Ilham akan menjadi milik ku seutuhnya, seandainya dari awal aku tahu jika aku sudah hamil, tak akan aku melamar mu, sudah lah Mutia aku yakin kau juga merasakan apa yang aku rasakan ya kan? Merasakan sakit jika berbagi cinta dengan orang lain, pergilah dari kehidupan mas Ilham, dan ceraikan dia,"

"Astagfirullah kak," aku tak bisa berkata apa apa

"Sudah, sudah pokoknya kamu harus menceraikan mas Ilham, aku tak mau tau, atau aku yang akan mengurus perceraian kalian?"

"Sudah, Assalamu'alaikum," ia mematikan sambungan telepon kami

Entah mengapa sesak rasanya, ka Annisa berubah, dia bukan ka Annisa yang ku kenal,

Air mata tak henti membanjiri pipiku,

Ilham pov.

"Sudah, sudah pokoknya kamu harus menceraikan mas Ilham, aku tak mau tau, atau aku yang akan mengurus perceraian kalian?" terdengar suara berat mengancam dari dalam kamar, ku dengarkan setiap percakapan Annisa dengan Mutia dari balik pintu,

Tak menyangka jika Annisa akan berbuat seperti ini, kecewa dan marah saat ini ku rasa.

Ku buka pintu, Annisa terkejut melihatku ada di balik pintu

"Mas, sedang apa?" ucapnya gugup
"Apa yang kau bicarakan dengan Mutia?" tanyaku geram

"Aku... aku... Ga ngomong apa-apa,"
"Jangan bohong, aku udah mendengarnya semua! Aku kecewa denganmu Annisa! Setan apa yang merasuki otak mu!"

"Mas, aku seperti ini karena aku cemburu, cemburu mendengar ia bilang rindu padamu, kau suamiku mas! Tak boleh ada yang bilang rindu pada suamiku!"

Mutiara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang