Part 18

15.7K 716 48
                                    

Annisa Pov.

Sedih rasanya dengan kondisi perutku sudah sebesar ini tapi terkadang suami ku tidak ada di sisi.

Di dalam lubuk hati paling dalam tidak ada seorang wanita pun yang rela berbagi hati dengan wanita lainnya, begitu pula dengan diriku.

Saat hamil besar mendekati persalinan seperti ini aku juga ingin seperti orang lain yang suaminya terus berada disampingnya

Tapi apa boleh buat aku tak bisa berbuat apapun, semua sudah menjadi takdir dari Allah untuk kehidupan ku.

Mau tak mau aku tetap harus menjalanin dengan ikhlas, masih terngiang di telinga ketika ibu mertuaku selalu menyuruh ku untuk meninggalkan mas Ilham hanya karena aku tak bisa hamil.

Sungguh kejam memang

Tapi sekali lagi Allah membuktikan kebesaranNya, Allah memberikan ku amanah yang sangat besar, anugrah yang selama ini selalu ku tunggu.

Jika aku boleh egois mungkin waktu itu aku akan memberi tahu kan kehamilanku sebelum mas Ilham menikah, karena aku tahu jika aku katakan aku sedang hamil saat itu pasti mas Ilham tidak akan mau melanjutkan rencana pernikahannya.

Aku tak ingin Mutia kecewa karena aku telah mempermainkannya, tapi ternyata itu sungguh sulit di jalani.

Kadang aku merasa begitu sesak mengingat suami yang ku cintai harus tidur dengan wanita lain.

Membayangkan ia bermesraan dengan istri mudanya bisa membuatku hancur sehancur-hancurnya.

"Nisa, kau tidak masak!" Teriak seseorang dari dalam rumah

Aku tersentak kaget, dan segera sadar dari lamunan ku. Ku usap air mata yang mulai membanjiri pipiku.

"Nisa!" Sekali lagi suara itu membuatku segera bangkit dari tempat duduk

Aku berjalan perlahan kearah suara yang memanggil ku.

Ku lihat wanita sepatu baya itu sedang bertolak pinggang di depan meja makan.
"Maaf bu, hari ini Nisa tidak masak, badan Nisa berasa sakit semua,"

"Alah alasan, bilang saja kamu malas! Aku waktu hamil tidak malas seperti mu!" Nada suaranya masih saja tinggi

"Tapi bu, Nisa benar ga sanggup kalau harus masak, untuk bangun saja Nisa harus memaksakan,"

"Dasar menantu ga becus! Di kasih hamil bukannya malah bersyukur ini malah mengeluh! Nanti kalau bayimu di ambil lagi baru tahu rasa!"

Seketika air mataku meleleh tanpa bisa ku tahan, sakit hati pada ibu mertuaku sungguh telah memuncak, selama ini aku menghormatinya karena ia wanita yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan lelaki yang paling aku cintai.

"Ibu boleh menghina ku dengan apa saja! Ibu boleh memandang aku dengan sebelah mata! Memaki! Mencibir! Silahkan! Aku tak pernah mempermasalahkannya! Tapi aku tak terima jika ibu berdoa yang tidak baik kepada bayiku! Cucu ibu! Selama ini aku diam karna aku menghormati ibu sebagai seorang wanita yang telah melahirkan mas Ilham, tapi ini sudah sungguh kelewatan bu!"
Aku mengeluarkan semua isi perasaanku.

Dengan deraian air mata yang terus membasahi pipi hingga ke daguku ku utarakan semua unek unek yang ada di dalam hatiku

"Oh kau sudah berani sama saya! Lihat saja saya bisa membuat kamu dan Ilham berpisah setelah bayi itu lahir!"

Ibu meninggalkan ku sendiri di ruang makan, terdengar suara bantingan pintu kamar yang membuat hujan di diriku semakin deras.

Aku bergegas menuju kamar, ku ambil handphone di atas nakas di samping tempat tidur.

Mutiara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang