leise

573 58 4
                                    

■ Percayalah, disaat wanita sedang curhat lalu dia menangis, disitulah titik lelahnya seorang wanita saat menghadapi keadaan yang dia rasakan. ■

Frida ingin pergi ke perpustakaan, karena di sana terdapat keheningan. Lalu ia berjalan menuju perpustakaan.

Terlihat Gibral sedang berada di ujung koridor, membuat Frida tak ingin lewat situ. Namun tak ada jalan lain selain lorong kelas IPS itu. Mau tak mau Frida tetap melanjutkan langkahnya.

Ia mendengar Gibral memanggil namanya, namun ia acuh. Frida terus berjalan tanpa menghiraukan Gibral yang masih memanggil namanya.

Sesampainya di perpustakaan, Frida duduk di salah satu seat. Mengatur napasnya dan berusaha santai. Ponselnya berdering, panggilan masuk dari Gibral. Frida me rejectnya, tak lama pesan singkat masuk via Whatsapp.

"Sekarang gitu nih?" Gumam Frida membaca isi pesan dari Gibral. Frida meletakkan ponselnya. Menyandarkan dirinya di kursi. Dan menutup wajahnya frustasi.

Apa-apaan ini, dengan tanpa dosa Gibral bertanya seakan dia tak melakukan apa-apa. Frida tersenyum kecut.

Seseorang duduk di seat sebelah Frida, awalnya ia tak peduli, sampai seseorang itu melemparnya dengan pulpen.

Frida menoleh, dia adalah Arya. Frida memicingkan matanya seolah bertanya, 'ada apa?'

"Lu kenapa sih? Muka lu jelek kalo begitu," ujar Arya terkekeh pelan. Frida mendengus.

"Coba cerita, kali aja butuh temen curhat," lanjut Arya.

Frida terdiam, berusaha mencerna pernyataan Arya barusan. Arya bersedia menjadi teman curhatnya?

Lalu Frida menoleh ke arah Arya yang fokus dengan buku di tangannya, Frida menatapnya lekat-lekat.

"Jangan natap gw kayak gitu, ntar lu suka, bahaya," celetuk Arya yang masih fokus dengan bukunya. Frida membuka matanya lebar-lebar. Tak menyangka respon Arya barusan. Kakak kelasnya ini tingkat PD-nya tinggi juga.

"Kok bahaya? Lu kan cowo, gw cewe. Lu ga gay kan?" Ujar Frida berusaha mencairkan suasana. Arya menggeleng.

"Jadi lu mau cerita ga?" Tanya Arya. Frida kembali terdiam, lalu ia mendengar Arya membuang napasnya kasar. Arya bangkit dari duduknya. Frida reflek menahan lengan Arya, menyuruhnya kembali duduk.

"Temenin gw kak," Frida memohon. Arya kembali duduk, dan menunggu kalimat selanjutnya dari Frida.

"Terkadang seseorang tersenyum di depan orang lain, mencoba terlihat baik-baik aja, padahal ada sesuatu yang membara di dadanya. Dan dia lebih memilih tersenyum karena malas buat disuruh cerita tentang hal yang membuat dia sedih." Ujar Frida. Arya diam memperhatikan setiap kata-kata Frida.

"Mungkin dia sering nangis, tapi bukan untuk alasan sepele. Air matanya sangat mahal buat hal yang sepele. Dia berusaha mengatasi setiap masalahnya sendiri. Bukan karena dia sok kuat, tapi dia belum menemukan sosok yang bisa dia percaya." Lanjut Frida.

"Mungkin gw bisa dipercaya, kalau lu gak keberatan," jawab Arya singkat. Mata Frida berbinar dengan jawaban Arya. Entah kenapa ia ingin bercerita banyak, dan mempercayai Arya untuk menjadi teman curhatnya.

"Di dunia ini, ada 2 orang laki-laki yang udah berhasil nyakitin gw, buat gw kecewa." Ujar Frida.

"Lu diputusin?"

"Gw gak pernah pacaran!"

"Terus 2 cowok itu siapa?"

"Yang pertama itu Ayah gw, yang kedua itu sosok yang dalam 1 bulan ini jadi yang spesial, 5 hari gw kenal sama dia, dan gw baper, gw percaya aja sama dia. Padahal sebelumnya gw anti banget punya hubungan sama cowok, setelah gw trauma karena Ayah gw yang udah nyakitin gw."

"Ayah lu kenapa?" Pertanyaan Arya membuat Frida sesak napas, pedih sekali jika harus mengingat Ayahnya. Namun kini ia ingin berbagi cerita karena sudah tak tahan menahannya sendiri.

"Sesuatu yang mungkin kalau terjadi ke lu, lu ga pernah bisa kuat. Gw korban Broken Home," ujar Frida lirih.

"Dan lu ngerasa bahwa lu adalah anak yang paling tersiksa?" Tanya Arya. Frida tak dapat menjawabnya. Ia terdiam, menundukkan pandangan nya. "Apa kabar sama yang kedua orang tuanya udah meninggal?" Pertanyaan Arya membuat Frida seperti tersetrum.

"Lu masih punya kesempatan buat memperbaiki semua, jangan sia-siain waktu lu. Lu bakal nyesel suatu hari nanti karena udah menghabiskan waktu lu tanpa luangin sedikit waktu lu buat orang tua." Ujar Arya. Mata Frida berkaca-kaca. Arya berdecak.

"Omongan gw bener? Lu benci sama orang tua lu?" Tanya Arya. Frida mengangguk.

"Lu tau? Terkadang seseorang harus pandai bersyukur. Jangan bisanya cuma mengeluh, mengumpat sama takdir. Karena bisa jadi posisi lu sekarang itu adalah posisi yang diimpikan anak lain," jelas Arya. Tanpa Frida sadari, air mata mulai membasahi pipinya.

"Gapapa nangis, terkadang ga semua yang lu rasa itu bisa diungkapkan pake kata-kata. Mungkin itu alasan Tuhan ciptain air mata sama hati," ujar Arya. Entah kenapa, setiap kata-kata Arya mampu meluluhkan hati Frida yang membatu.

"Gw kangen banget sama orang tua gw, pengen banget ketemu mereka. Tapi dunia gw sama mereka udah beda." Frida menatap mata Arya, raut wajahnya berubah.

"Bokap gw meninggal sejak gw umur 4 tahun, katanya dia itu sakit, terus Nyokap gw nyusul Bokap pas gw masih SMP. Dia kecelakaan. Dan saat itu, gw ngerasa gw kehilangan arah dan penyemangat hidup."

Frida semakin lekat menatap mata Arya, namun ia tak menemukan tanda kebohongan. Bahkan Frida dapat ikut merasakan perih yang Arya rasakan.

"Lu harus bersyukur karena masih bisa liat kedua orang tua lu di dunia ini. Sedangkan gw? Gw kangen sama mereka. Gw juga pernah kok ngerasa terpuruk, down yang bener-bener down. Tapi gw berpikir, gw mau sampai kapan kayak gitu? Gw harus bangkit. Pasti mereka seneng liat gw disini tabah." Frida tersenyum simpul. Pernyataan Arya barusan sukses merobohkan sedikit demi sedikit egonya.

Frida menyeka air matanya, bertukar pengalaman dengan Arya cukup ia hayati hingga meneteskan air mata. Arya benar, Frida tidak sepatutnya begini. Bagaimana pun juga, Hito adalah Ayahnya, yang rela melakukan apapun demi memenuhi kebutuhannya dan Fika.

"Dan, buat masalah cowok kedua yang udah bikin lu kecewa itu, gak sepenuhnya salah dia. Bukan berarti gw nyalahin lu, tapi lu harus inget. Mungkin kita ngerasa ini ga adil, dan kita gak paham sama semua yang terjadi, tapi Tuhan punya skenario terbaik buat hidup lu," ujar Arya. Frida menggeleng tak percaya, seorang Arya yang terlihat pendiam dan dingin bisa menjadi sosok bijak yang menguatkan.

"Makasih ya kak, sumpah kata-kata lu ngena banget. Gw ga bakal lupain apa pesan lu dan saran lu. Ini adalah pelajaran berharga bagi gw." Frida tersenyum dan dibalas Arya dengan senyuman pula.

Mungkin ini memang jalan Tuhan, agar Frida bisa berpikir dewasa. Selama ini dia sudah salah. Selama ini ia berfikir bahwa mimpi buruk lebih indah dari kenyataan.

Frida pikir, dikenyataan itu, semua berjalan maju tanpa bisa ia hentikan. Namun sebenarnya ia tak harus menolak takdir, tapi berusaha memperbaikinya.

Baginya kenyataan seperti detak jam yang semakin kencang mengisi kekosongan yang terburuk. Namun sebenarnya ia tak perlu menghentikan waktu, tapi menghadapinya dengan keikhlasan.

~>♡<~

Te AmoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang