nuevas hojas

413 36 1
                                    


■Sekarang kita sedang menjalani kehidupan masing-masing. Dan aku akan mulai belajar merelakan saat kamu melewatiku seperti angin. Pada intinya, dapat mengenalmu saja aku sudah bahagia■

Arya melihat Frida berjalan dari arah kantin. Namun mata Frida tak melirik Arya sedikit pun. Mungkin Arya sudah menjadi sosok asing bagi Frida. Tampak dari sorot kebencian di mata Frida. Ini bukan yang Arya mau, ia hanya ingin Frida tidak menyukainya, tapi Arya malah membuat Frida membencinya.

Tanpa Arya sadari, kakinya melangkah mengejar Frida yang menuju kelasnya. Setelah menarik napas, mengumpulkan keberanian dan membuang jauh rasa ragu, Arya memanggil Frida. Panggilannya sukses membuat Frida menghentikan langkahnya. Namun Frida tak menoleh sedikit pun. Lidah Arya kelu seketika, sulit mengutarakan tujuannya memanggil Frida.

"Gw mau jelasin semuanya" ujar Arya. Rasanya seperti disengat lebah di puncak kepala, mata Frida berkaca-kaca. Ia merindukan suara Arya, namun apa yang perlu dijelaskan lagi?

"Jam 4 sore, gw tunggu di taman tempat gw nemuin lu basah kuyup!" Ujar Arya, Frida tak menoleh sedikit pun. Masih memunggungi Arya. Lalu ia kembali berjalan menuju kelasnya.

Otaknya penuh dengan tanda tanya. Untuk apa Arya ingin menemuinya di taman perumahannya? Apa yang perlu Arya jelaskan lagi? Bukannya sudah jelas? Bahwa Arya menjauh karena tau Frida menyukainya? Apa Arya akan memarahinya karena membuat hubungan persahabatan mereka menjadi asing? 

Memang semua ini salah Frida, seharusnya waktu itu Frida tidak pernah mengatakan perasaannya. Cukup baginya mencintai dalam diam. Frida terlalu bodoh.
Ponselnya bergetar, Frida mengangkat telepon dari Rio. Sengaja ia terdiam, takut Rio menyadari suaranya yang sedang menahan sesak.

"Nanti pulang kakak jemput ya?" Tanya Rio. Frida hanya berdehem.Sudah Frida tebak, karena setiap pukul 11 siang Rio akan meneleponnya untuk meminta menjemput Frida pulang sekolah, lalu bertanya Frida sedang apa, sudah makan atau belum dan masih banyak lagi. Pertanyaan itu sudah dapat Frida jawab sebelum Rio melontarkan pertanyaannya. 

"Tadi sarapan ga?" Tanya Rio lagi.

"Iya sarapan, sekarang masih napas, sudah makan, lagi duduk." Jawab Frida membuat Rio tertawa karena gemas.

"Besok sabtu, kita jalan yuk?" Ajak Rio. Frida berpikir keras, mengobrol di telepon saja cukup membuat Frida sulit bicara,apalagi pergi berdua?

"Frida? Gimana?" Tanya Rio lagi, memecah lamunan Frida. Frida melirik guru yang masuk ke kelasnya.

"Iya kak, ada guru udah dulu ya," jawab Frida tergagap. Lalu Frida mematikan teleponnya.
Ia belum tahu, bagaimana perasaannya  pada Rio. Bagaimana perasaannya pada Arya. Namun secepatnya, ia akan menegaskan hatinya ini untuk siapa. Dan Frida harus bisa mulai menerima Rio, dan melupakan Arya.

Sepulang sekolah, Frida dan ketiga sahabatnya berjalan bersama keluar gerbang. Terlihat Rio sedang bersender di bamper mobilnya menunggu Frida.

"Gw duluan ya, gw di jemput," ujar Frida.

"Sama supir aja kayaknya seneng banget," saut Selvi.

"Frida..." panggil Rio, Frida tersenyum samar. Selvi membuka mulutnya lebar, terkejut melihat lelaki di depan matanya saat ini.

"Lu gak pernah cerita punya abang?" Bisik Mira.

"Dia bukan Kakak gw, tapi dia seseorang yang spesial bagi gw," jawab Frida pelan.

"Maksudnya?" Mereka bertiga kompak karena terkejut

"Nanti gw ceritain, oke?" Ujar Frida lalu berjalan mendahului sahabatnya, dan masuk ke dalam mobil. Mobil itu berjalan meninggalkan area sekolah.

Te AmoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang