dejar ir

436 40 3
                                    

■Kalau nanti kita tak lagi bersama, semoga apapun yang pernah terjadi diantara kita bukanlah yang kamu sesali, dan kalau nanti kita bisa bertemu lagi, aku harap itu adalah jawaban dari doaku pada Tuhan■

Bayangan Arya kembali terlintas di pikirannya. Lalu ia menarik laci meja riasnya, ia mengambil diary merahnya. Membuka halaman paling belakang, dimana ada beberapa foto Arya yang Frida ambil diam-diam. Frida memandangnya sendu, matanya memanas, bersiap untuk menumpahkan air matanya kembali.

'Gw ga akan bisa benci sama lu, walaupun lu udah pergi gitu aja. Lu masih ada diingatan gw. Tapi mungkin sebentar lagi nama lu akan lenyap dan tergantinkan.' Gumam Frida di tengah isakannya. Pipinya mulai banjir dengan air matanya.

'Gw gak mau berburuk sangka tentang apapun yang ada. Tapi cara lu ini buat gw yakin buat terus melangkah melupakan lu. Menghempaskan semua rasa ini. Dan lu kasih gw cara buat pergi menjauhi lu.' Frida semakin terisak. Ia terduduk di kursi meja riasnya.

'Gw kangen lu yang dulu, yang ga sedingin sekarang. Apa gw salah kalau sayang sama lu? Apa salah gw sampe lu pergi dari gw? Sampe lu berubah? Jawab Arya!' Frida melempar bukunya itu, menutup wajahnya yang semakin basah karena tangisnya.
Hal-hal yang ditakutkan sudah terjadi.

Saat ini perasaan Frida sangat kacau, ia marah pada dirinya sendiri. Kenapa terlalu cepat terjatuh? Dan kenapa kini ia malah membuat pria lain terbawa perasaan karena tingkah konyol dan ucapan spontan yang dikeluarkan demi menarik perhatian Arya? Frida harus bertanggung jawab, Rio semakin menyayanginya, kalau Frida menjadikan Rio sebatas pelarian, berarti Frida adalah orang yang sangat jahat.

Ia bangkit dari duduknya, lalu bergegas untuk mandi. Kepalanya perlu disiram air dari shower agar lebih dingin. Setelah mandi Frida menuju walk in closet dan memakai baju tidurnya.

Tenggorokannya terasa kering, sehingga ia harus ke dapur untuk mengambil minum. Saat melewati kamar orang tuanya, Frida mendengar Ayahnya sedang berbicara, namun sepertinya ayahnya sedang bicara lewat telepon.

Awalnya Frida tidak peduli, namun nada suara ayahnya yang lebih seperti ancaman pun berhasil membuat Frida menghentikan langkahnya. Frida memilih berdiri di balik tembok tak jauh dari pintu kamar Ayahnya.

"Saya camkan sekali lagi, jangan hubungi saya lagi Nadira, saya ingin berubah!" ujar ayahnya.

"Jangan ganggu saya dan keluarga saya, atau kamu akan tau akibatnya!" Ujar ayahnya lagi.

Frida terkejut mendengarnya. Siapa wanita bernama Nadira itu? Apa iya Nadira adalah wanita simpanan ayahnya? Frida membenturkan kepalanya pada dinding di belakangnya, kepalanya sangat pusing. Ingin rasanya ia melepas sejenak kepalanya, berhenti merasakan beban hidup yang tak ada habisnya.

Lalu ia berjalan menjauh, agar ayahnya tak mencurigai Frida. Menuruni tangga menuju ruang makan. Lalu duduk dan mengusap kasar wajahnya.
Tak lama ayahnya juga menuruni tangga,berjalan menghampirinya, pakaiannya sudah rapih. Sepertinya ayahnya akan pergi keluar kota mengurus bisnis yang lain.

Dan benar saja, kini ayahnya sedang berbicara melalui telepon tentang rencana meeting besok pagi.

"Frida, ayah harus ke Kalimantan untuk memperpanjang kontrak. Kamu jaga diri baik-baik ya, jaga rumah juga. Jangan keluar malam, ingat kamu itu perempuan!" pesan Ayahnya setelah mematikan teleponnya dengan rekan bisnisnya. Frida mengangguk paham.

"Oh iya lupa, berkas ayah ada yang tertinggal. Tunggu ya, makan saja duluan," ujar Ayahnya lalu bangkit menuju kamarnya.

Frida melihat ponsel ayahnya menyala karena sebuah pesan singkat masuk, karena penasaran jadilah Frida melirik ponsel ayahnya.

'Nadira'

Pesan dari perempuan itu berada di layar notifikasi ponsel ayahnya. Terlarut dalam rasa penasaran, Frida memberanikan diri membuka pesan itu.

Nadira:
Pokoknya aku ga mau tau, kirim uang 300 juta dulu baru aku mau pergi dari hidup mas!

Frida melebarkan matanya karena terkejut, 300 juta? Apa perempuan itu sudah gila? Membacanya saja Frida sudah sesak napas. Rasanya ia ingin menampar wajah perempuan bernama Nadira ini.
Akhirnya Frida berani mengambil resiko, ia membalas pesan Nadira.

"Besok datang ke tempat karaoke biasa saya main jam 8 malam. Saya akan bawakan uangnya. Tolong jangan balas pesan ini lagi,atau uang mu lenyap!" gumam Frida sembari mengetikkan sebagai balasan untuk Nadira.

Lalu ia buru-buru menghapus pesan Nadira dan balasannya. Semoga perempuan itu tidak membalas lagi. Lalu meletakkan ponsel ayahnya ke tempat semula. Lalu Frida pura-pura sibuk dengan makanan nya.

"Frida ayah berangkat langsung ya... pesawat ayah 1 jam lagi," ujar Ayahnya. Frida menghela napas lega karena ayahnya tak mencurigai gerak-gerik Frida.

Lalu Frida kembali sibuk merancang strateginya untuk besok. Ia harus benar-benar memberi pelajaran untuk perempuan bernama Nadira itu.

***

Ponsel Frida bergetar, Frida meraihnya. Itu telepon dari Rio. Ia mengangkat panggilan masuk tersebut.

"Hai, apa kabar?" Tanya Rio di seberang sana.

"Masih berpijak di bumi kok," jawab Frida.

"Lagi ngapain kamu? Lagi sibuk ga?"

"Lagi napas. Kalo sibuk ga mungkin angkat telepon kakak," jawab Frida sekenanya. Terdengar suara hembusan napas kasar, sepertinya Rio mulai kesal.

"Kamu ditanya serius juga," rajuk Rio, Frida tertawa pelan.

"Udah malem, Frida ngantuk," ujarnya.

"Baru juga ngobrol."

"Masih ada besok kak."

"Yaudah, selamat tidur ya sayang," ujar Rio membuat Frida tersenyum samar.

"Iya.. oyasumi mo," jawab Frida dengan bahasa Jepang yang ia pelajari sedikit-sedikit.

"Eh tunggu, apaan tuh artinya?"

"Selamat tidur juga... itu bahasa Jepang."

"Oh... yaudah,eh tunggu," Frida batal mengakhiri telepon.

"Apa lagi kak?"

"Sekarang udah sayang sama kakak belum? Kalo belum gapapa, besok kakak tanya lagi." Pertanyaan konyol yang pernah Frida dengar selama hidupnya.

"Insya Allah, lagi berusaha," jawab Frida jujur.

"Yaudah, sampai ketemu besok," lalu telepon terputus, Frida mengulas senyum.

~>♡<~

Te AmoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang