offenes Herz

512 55 6
                                    

■Mungkin seorang perempuan mudah memaafkan. Tapi dia tidak akan pernah kembali menjadi sosok yang dulu. Dan mungkin seorang perempuan dapat menerima luka. Tapi dia tidak akan membalas hal buruk apapun yang pernah dilakukan kepadanya ■

Mira berlari tergesa masuk ke dalam kelas, menghampiri Frida yang sibuk dengan novelnya. Erna dan Selvi memandang bingung Mira yang terlihat panik.

"Lu kenapa Ra?" Tanya Erna. Mira masih mengatur napasnya. "Oke tarik napas... buang... tarik lagi... buang." Mira mengikuti intruksi dari Erna.

"Fridaa... Ka Gibral berantem di lapangan sama Ka Nicholas!" jelas Mira dengan napas yang masih terengah-engah. Frida langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lapangan. Erna,Selvi, dan Mira mengikutinya karena penasaran.

Suasana lapangan basket menjadi ramai, para siswa membuat lingkaran besar dengan mengerumuni Gibral dan Nicholas. Saat itu Frida bingung harus apa. Akhirnya ia memberanikan diri untuk melerai mereka berdua. Keadaan menjadi hening, Nicholas melepaskan cengkramannya pada Gibral.

"Ngapain lu pada ngerumunin gini? Mau gw hajar juga?" Teriak Nicholas pada siswa lain yang ikut menonton di lapangan itu. Mereka menyoraki Nicholas lalu mulai bubar meninggalkan lapangan.

"Mending sekarang kita ke-UKS. Keburu ada guru liat," ujar Frida sembari berjalan meninggalkan Gibral dan Nicholas yang akhirnya mengikutinya.
Frida duduk menunggu Nicholas dan Gibral selesai diobati petugas UKS. Setelah selesai, Frida berdiri, menghampiri Nicholas.

"Gw cuma mau buat dia berubah, jangan jadi terlalu murah lah, banci tau ga!" ujar Nicholas seakan paham maksud tatapan Frida. 

"Ini hidup gw, terserah gw  mau ngapain" saut Gibral.

"Playboy boleh, tapi yang gentle dong. Jangan bilang, cewe kan lucu kayak barbie jadi bisa dimainin. Tapi pada dasarnya cowok itu gak main Barbie!" timpal Nicholas tak kalah sengit.

"Udah cukup. Gw pusing. Kalian tuh udah sahabatan dari kelas 10, jangan lupain itu!" lerai Frida

"Ogah. Jijik gw main sama banci! Inget ya Gib, suatu saat lu bakal dapet pelajaran atas perbuatan lu ini. Dan lu akan menyesal pernah curang sama hati cewe!" ujar Nicholas. "Mungkin sekarang dia lagi lupa, kalo nyokapnya juga cewe," Lanjutnya semakin sinis. Gibral hanya terdiam, "diem kan lu, semoga diem lu itu ngerti maksud gw. Bukan karena sekedar kehabisan kata kata doang!" sindir Nicholas makin menekan kan setiap kalimat.

"Frida," Gibral menjeda perkaataan nya, Frida tak menoleh sedikit pun. "Maafin gw," lanjut Gibral. Nicholas tertawa renyah. 

"Lu pikir sembuhin hati cewe cukup pake maaf? Lu selain murahan juga begonya kebangetan ya Gib!" ujar Nicholas , lalu tersenyum kecut.

"Gw udah maafin lo, itu supaya gw tenang. Gw udah lupain, supaya gw bisa  senyum lagi. Waktu itu gw cuma bisa diam, karena gw benci berdebat. Dan gw masih punya sabar, dan berusaha tetap sabar karena keyakinan gw terhadap Tuhan ga terbatas," ujar Frida lalu pergi keluar dari UKS. Entah perasaan Frida menjadi tenang setelah mengungkapkan itu semua. Berarti Frida sudah mulai untuk Ikhlas. Ia tersenyum menang.

***

Bel pulang sudah berdering 15 menit yang lalu, Frida masih harus masih berkutat dengan tugasnya yang sebenarnya dijadikan pekerjaan rumah, namun tanggung jika harus dikerjakan dirumah, pikirnya. Setelahnya ia merapihkan bukunya dan memasukannya dalam tas. Lalu beranjak dari duduknya. Berjalan melewati koridor dan menuju halte biasa ia menunggu bus untuk pulang.

Siang ini panas sekali, Frida mengusap keningnya dengan tissue. Sebuah mobil menepi di depan halte. Itu mobil Hito, ayahnya. 'Drama apa lagi yang akan terjadi hari ini?' Gumamnya dalam hati.

Kaca jendela terbuka, ayahnya menatap Frida seakan menyuruhnya masuk. Frida menatap sekeliling, banyak murid lain di halte ini. Ia tak ingin terjadi keributan dan menjadi tontonan murid yang ada di halte ini, jadilah ia melangkah lalu masuk ke dalam mobil. 

Mobil melaju meninggalkan area sekolah Frida. Di dalam suasana hening, Frida menatap keluar jendela 
Mobil itu memasuki halaman rumah, rumah yang telah menjadi larangan untuk Frida pijak sesuai perintah Ayahnya beberapa hari lalu. Lalu berhenti, dan mereka turun dari mobil.Frida terdiam mematung, ayahnya menoleh ke arah Frida.

"Masuk!" Perintah Ayahnya. Frida tersenyum kecut, masih berdiam di tempatnya.

"Anda lupa pernah menyuruh saya tidak memijakkan kaki di rumah ini?" Saut Frida getir. Ayahnya menarik tubuhnya dalam pelukannya.

Frida tak membalas memeluk ayahnya, sebenarnya ini adalah yang ia impikan selama ini, Frida tak pernah merasakan pelukan seorang ayah sebelum ini. Namun entah kenapa, saat ini ia merasa sangat asing, ayahnya sepeti orang lain.

Bundanya pernah bercerita, saat Frida di dalam kandungan, ayahnya ini harus mendekam dalam jeruji besi karena kasus narkoba. Lalu ayahnya bekerja di Jakarta, sedangkan dia dan Bundanya tinggal di Surabaya bersama neneknya. Hingga Bundanya mendengar kabar kalau Ayahnya ini telah sukses dengan bisnis propertinya, akhirnya mereka pindah untuk tinggal bersama Ayahnya.

Semenjak saat itu, disaat Ayah dan Bundanya berselisih paham, Frida selalu melihat ayahnya itu menampar Bundanya, Frida kecil selalu ketakutan. Ia sering menangis di pelukan Bi Ikah yang membawanya pergi ke dalam kamar. 

Akhirnya setelah ia beranjak dewasa dan akhirnya paham apa yang terjadi di antara kedua orang tuanya ini, Frida memutuskan untuk pergi. Ia bosan jika harus berada di tengah pertengkaran orang tuanya terus menerus.

Dan dia selalu berharap, bahwa Fika adiknya tak akan merasakan posisi Frida. Ia selalu membuat Fika tak mengetahui disaat kedua orang tuanya sedang bertengkar, dan beruntungnya Fika adalah anak kesayangan ayahnya. Frida berusaha tak merasa iri, baginya melihat Fika tumbuh selayaknya anak seusianya, Frida sudah bahagia.

"Frida, ayah minta maaf. Sekarang katakan apa yang membuat kamu sangat membenci ayah!" Ujar Ayah nya setelah melepaskan pelukannya. Frida berdecak, lalu tersenyum kecut. Bisa-bisanya orang ini bertanya apa salahnya?

"Frida kayak gini, karena kehilangan. Apa yang hilang? Mugkin masa kecil dan kebahagiaan yang harusnya Frida rasain. Frida harus ngerasain broken home di usia yang masih muda. Mungkin ayah ga tau, rasanya dengerin curhatan Bunda tentang Ayah yang Frida sayang. Dan Frida harus menerima kenyataan bahwa cinta bukan hanya alasan untuk segalanya." Frida menjeda perkataannya. Menarik napas dan berusaha melepaskan sesaknya itu.

"Di waktu yang sama, Frida harus tutup mulut buat menghindari orang lain bicara buruk tentang keluarga kita. Frida harus tumbuh dewasa sebelum waktunya. Tapi, itu semua cukup membuat Frida menjadi sosok yang kuat." Ujarnya yang masih menunduk. Berusaha menahan air matanya tak menetes. Ia berhasil membuat ayahnya mematung tak berkutik.

"Ayah gak pernah ada disisi Frida, bilang kalau ayah mau membantu Frida. Ayah mendorong Frida keluar dari dunia ayah dengan mengusir Frida secara gak langsung, Frida gak benci Ayah, cuma benci sama sifat ayah. Ayah berhasil hancurin hati Frida, sebelum laki-laki lain berkesempatan seperti itu. Ayah adalah pahlawan kesiangan, yang telah merubah jalan pikir dan hidup Frida!" Jelasnya lagi. Tanpa sadar ia telah menyampaikan keluh kesahnya selama ini. Pipinya bahkan sudah basah oleh air mata. Ayahnya pun ikut menangis, Frida menatap ayahnya. Entah itu adalah air mata penyesalan atau apa.

"Ayo nak, masuk ke dalam. Tinggal di rumah ini lagi, kita perbaiki apa yang sudah hancur," ujar ayah nya.

Frida merasa sedang bermimpi saat ini. Ia masih berdiri di tempatnya, mengusap air matanya. Ayahnya menarik Frida masuk ke dalam rumah. Menaiki tangga, dan menuju kamar bundanya. Frida memeluk erat Bundanya, ia sangat merindukannya. Lalu ia merasa ada ayahnya ikut memeluknya, tidak, tapi memeluk Frida dan juga Bundanya. Apa artinya semua ini? Apa sekarang keluarganya sudah kembali?

~>♡<~

Author belum bisa tidur karena insomnianya udah parah banget😭 dan Author merasakan gejala indigo, dimana bisa mendengar suara kecil yg mengganggu telinga.
Iya nih gaezz, author denger suara kecoa😭  aku kan takut sama kecoa😤

Te AmoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang