como el cielo

503 46 1
                                    

■Mungkin kamu adalah senja, dan aku adalah fajar yang hangat. Kita sama-sama mewarnai langit, dan mungkin rasa kita sama. Namun senja dan fajar tak akan pernah bertemu pun bersatu.■


Frida masih fokus ke jalan raya. Jam menunjukkan pukul 5 sore, keadaan macet karena ini jam pulang kantor. Jadi dia harus siaga bermain rem dan gas agar tak terjadi hal yang tak diinginkan.

Dari Steven ia belajar, bahwa yang merasa sendiri di tengah keluarga bukan hanya dia. Steven juga merasakan itu dalam keluarganya. Dimana ia punya kedua orang tua yang lengkap, namun ia merasa canggung dengan mereka. 

Frida tau posisi sulit Steven. Dimana uang bukan lah segalanya. Seorang anak juga membutuhkan kasih sayang, bukan hanya fasilitas.

Namun Frida masih bersyukur, karena ia masih bisa memposisikan dirinya dalam jalan yang benar. Tidak terjerumus dalam pergaulan bebas atau apapun yang biasa menimpa anak broken home seusianya. 

Dan Frida tertarik untuk memotivasi Steven, bahwa Steven bisa untuk bangkit. Dia tidak boleh jadi anak yang malas sekolah dan suka nongkrong dengan anak berandal.

Bukan berarti Frida menyukai Steven, namun ini lebih karena rasa iba, karena perasaan senasib. Frida akan memposisikan dirinya sebagai teman yang baik,dan  juga terus berusaha jadi lebih baik dari dirinya yang sebelumnya.

Frida sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Satpam yang berjaga membukakan pagar, lalu mobil itu masuk dan terparkir manis di samping mobil milik keluarganya yang lain.

"Kamu toh, kirain tamu. Mobil siapa?" Tanya bunda yang kebetulan sedang melakukan rutinitasnya merawat tanaman bonsai kesayangannya.

"Temen bun, dia sakit jadi besok minta dijemput pake mobilnya,"  jelas Frida. Bundanya mengangguk paham lalu kembali sibuk dengan Bonsainya. 

Memang begitulah mereka, seperti ada jarak, meski sudah berusaha dibuang jauh-jauh egonya, namun entah mungkin efek masa lalu keluarganya masih membekas.

"Frida," panggil Bunda, Frida menghentikan langkahnya dan kembali berjalan ke arah bundanya.

"Minggu depan bunda mau umroh sama pekerja yang dirumah ini, tapi ayah kamu ga ikut karena masih harus ngurusin perusahaannya. Fika ikut,kamu mau ikut?" Tanya bunda. Frida terdiam, berfikir keras. Namun entah kenapa kata hatinya mengatakan kalau dirinya harus tetap di rumah bersama ayahnya.

"Ga deh bun, insya Allah lain kesempatan. Frida di rumah aja jagain Ayah," jawabnya membuat bundanya tertawa pelan. 

"Udah mulai peduli nih sama ayah?" Ledek bunda membuat pipi Frida memerah .

"Udah ya bun, Frida mau istirahat dulu," pamit Frida lalu berjalan memasuki rumahnya.

Dia lelah sekali, mungkin berendam air panas akan merilekskan tubuhnya. Lalu Frida bergegas untuk mandi. Setelah itu, iya memakai piyamanya dan memeriksa tugas untuk besok, namun nihil.

Tidak ada tugas untuk besok, itu artinya malam ini akan ia habiskan untuk membaca novel atau bersantai menumpahkan rasanya di diary merah kesayangannya.

Tak ada pemandangan kelip lampu dimalam hari dari atas gedung puluhan lantai semenjak Frida tinggal dirumah ini. Meninggalkan apartemennya memang berat, namun ini semua demi hubungannya dengan keluarga lebih baik lagi.

Jadilah Frida menghabiskan malamnya sebelum tidur untuk duduk di meja belajarnya, menulis, ia semakin mencintai hobinya itu.


"Cinta itu ibaratkan langit. Senja yang tidak pernah meminta untuk menunggu kehadirannya, senja yang dapat menerima  langit apa adanya meskipun tahu melepaskan sesuatu yang akhirnya berlalu dan terlupakan tidak akan selamanya berakhir indah. Mungkin kamu adalah senja, dan aku adalah fajar yang hangat. Kita sama sama mewarnai langit, dan mungkin rasa kita sama. Namun senja dan fajar tak akan pernah bertemu pun bersatu."

Frida menutup bukunya karena pintu kamarnya dibuka, dia Fika. Berdiri tak jauh darinya dengan wajah berseri-seri. Frida suka melihat senyum yang mengembang diwajah adiknya, karena itu adalah salah satu cita-citanya.

"Kakak, Fika punya mainan baru, ayah pulang bawa banyak mainan buat Fika. Ada mesin uang sama banyak lagi." Jelas Fika dengan wajah polosnya.

"Oh ya? Wah asik dong!"

"Kakak ayo turun kita makan malam, habis itu kita main jual jualan. Kaka yang jual Fika pembelinya," ujar Fika lagi.

"Habis makan, Fika harus kerjain PR buat besok. Nanti kita main di hari minggu aja ya sayang?" Jawab Frida, Fika mengangguk. Lalu Frida bangkit dari duduknya, berjalan dengan Fika menuju ruang makan.

Terlihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja makan. Frida tak biasa makan malam, namun ia selalu hadir untuk makan malam, tak ingin ia lewatkan kesempatan kecil untuk bersama keluarganya. 

"Oh ya, malam minggu ada penandatanganan kontrak kerja sama antara perusahaan ayah sama seorang dokter ternama yang mau mendirikan rumah sakit baru. Kita semua berangkat untuk jamuan makan malam dengan beberapa penanam saham juga." Ujar ayah nya.

"Ayah ikut tanam saham juga?" Tanya bunda.

"Iya, 30% ayah cairkan," ujar ayahnya. Frida mengangguk. Itu berarti lusa nanti rencana teman temannya untuk menginap di rumah Frida terpaksa batal.

Lalu selesai makan malam, Frida kembali ke kamarnya. Ia membaringkan tubuh lelahnya di ranjang empuk. Bersembunyi dibalik selimut tebal. Malam ini hujan kembali turun, menemui bumi yang rindu rinai  untuk memeluknya. Frida memandang langit-langit kamar. 

Bayangan Arya muncul tanpa permisi, entah kenapa, belakangan ini Frida jadi suka memikirkan Arya. Ia masih tak tau, kenapa Arya selalu hadir saat hatinya mendung? Dia bagai salju yang turun setelah kemarau. Dingin namun terus di nanti kehadirannya.

Frida tak tau bagaimana perasaannya pada Arya saat ini. Arya ia anggap siapanya? Apakah hanya sebatas kakak kelas? Atau sumber moodboosternya yang paling utama? Mengingat semua kata-katanya yang selalu mengenai relung hatinya.

Terlalu cepat jika ini harus dinamakan jatuh hati. Apa Frida sudah benar-benar sembuh? Tapi melihat tulisannya belakangan ini, seolah itu menceritakan  dan dibuat lalu ditujukan untuk Arya. Namun hingga saat ini, ia belum memahami perasaannya sendiri. Kata hatinya saat ini. Ia takut kembali terluka.

~>♡<~

Te AmoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang