"Hei, cewek yang di kuncir satu," panggil seseorang dari belakang. Karin yang merasa dirinya berkuncir satu pun berbalik untuk mengecek apakah orang itu sedang memanggilnya atau tidak.
Matanya langsung melebar melihat siapa yang baru memanggilnya. Bagaimana bisa? Bukankah tadi dia bahkan tidak berniat melihatnya di ruang OSIS? Mengapa malah tiba-tiba memanggilnya? Laki-laki ini memang ajaib. Batin Karin dalam hati.
"Dia manggil lo bukan?" Suara Aira terdengar ragu-ragu. Ia kaget saat melihat ketua OSIS yang sangat cuek dengan perempuan bisa tiba-tiba memanggil Karin.
Karin berbalik ke belakangnya untuk melihat apakah ada orang lain lagi atau tidak. "Kayaknya sih. Habis gak ada orang lain lagi," ucap Karin pelan.
"Yauda, sana samperin. Siapa tau penting. Gue tunggu di kelas." Dan Aira meninggalkannya sendirian begitu saja tanpa menunggu jawaban Karin.
Karin menarik nafas dalam-dalam dan berjalan menghampiri Davin. "Ada apa, Kak?" tanyanya dengan sopan.
Mata Davin tertuju pada jarinya yang terbungkus tisu. "Ayo, ke ruang uks." Ia berbalik dan mulai berjalan ke ruang uks.
Karin langsung berkata dengan cepat. "Gak usah, nanti juga sembuh sendiri." Lagipula, Karin juga tidak siap kembali berduaan dengan Davin. Ada rasa aneh yang muncul di hatinya saat berdekatan dengan Davin.
Davin menghembuskan nafasnya dengan berat. Perempuan ini benar-benar keras kepala. Batinnya.
"Terakhir kali lo nolak ajakan gue, lo pingsan di lapangan," ucapnya dengan nada meledek. Sambil berharap kalau perempuan itu menurut dengannya.
Karin mengerucutkan bibirnya dan akhirnya berjalan menyusul Davin. Sedangkan Davin diam-diam tersenyum puas karena triknya berhasil.
Davin membuka pintu uks dan membiarkannya terbuka untuk Karin. "Duduk gih di atas kasur," perintah Davin saat ia membuka laci meja untuk mengambil kotak p3k.
Karin menurutinya. "Lo tadi kenapa manggil gue cewek yang di kuncir satu?" tanyanya sekedar basa-basi. Ia sebenarnya tahu kalau Davin tidak tahu siapa namanya.
Davin membawa kotak p3k dan menaruhnya di samping Karin. "Sini jari lo."
Karin mengulurkan tangannya. Dengan perlahan, Davin membuka tisu yang membungkus luka Karin.
"Ini sih gak bakal bisa sembuh kalau ngak di obatin," sindirnya saat melihat seberapa parah luka Karin. Ia heran dengan perempuan ini. Kenapa harus menyepelekan semua hal?
"Yah, gue kan gak tahu," jawabnya dengan enteng. "Eh, lo belom jawab pertanyaan gue tadi."
Davin membersihkan luka Karin dengan kapas. "Daripada gue panggil lo cewek keras kepala?" sahutnya.
Karin merasa jengkel dengan laki-laki ini. Tidak bisa kah ia lebih berbaik hati dikit? Setidaknya ubah cara bicaranya itu.
"Aw," teriak Karin refleks saat Davin memberikan betadine di lukanya.
Davin menggelengkan kepalanya pelan. "Payah," gumamnya pelan sebelum meniup luka Karin.
Karin terdiam melihat perbuatan Davin. Memang tidak seberapa. Hanya saja untuk ukuran laki-laki seperti Davin, ini merupakan hal yang mengejutkan.
"Tumben diem," ucap Davin. Membuyarkan lamunan Karin tentangnya.
Karin baru sadar kalau lukanya sudah tertutup oleh plester coklat. "Ugh. Eh, thanks," ucapnya terbata-bata karena gugup.
Davin mengangguk pelan dan menyimpan kembali kotak p3k di tempat asalnya. Karin hanya duduk memperhatikan gerak-gerik Davin. Menenangkan jantungnya yang berdetak tidak karu-karuan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Curiosity
Teen Fiction(SUDAH DAPAT DITEMUKAN DI GRAMEDIA) Hari pertama sekolah, Karin sudah membuat satu sekolah heboh. Dan yang membuat heboh adalah Davin, ketua kelas yang cuek pada semua perempuan, menggendongnya ke uks. Sejak saat itu, Karin mulai penasaran dengan se...