"Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Bikin gue merinding aja," sindir Denny yang melihat sahabatnya senyum-senyum sendiri di ruang OSIS.
Davin menggeleng dengan senyum yang masih menempel di wajahnya. "Eh, gue mau cerita deh."
Denny mengangkat sebelah alisnya. "Yauda, cerita." Lalu, ia duduk di samping Davin dan menunggu.
"Jadi gini, kayaknya gue suka sama Karin deh. Menurut lo gimana?" tanya Davin yang akhirnya mengakui perasaannya untuk Karin.
Ia tidak tahan lagi menyimpan rasa yang ia punya untuk perempuan itu. Walau sudah beberapa kali ia berusaha melupakan perasaannya pada perempuan itu, tapi tetap saja Karin selalu punya cara untuk membuatnya jatuh cinta pada Karin. Dan sekarang, sudah saatnya ia mengakui perasaannya sendiri.
"Akhirnya!" teriak Denny dengan heboh. "Akhirnya lo ngaku juga lo suka sama dia. Setelah hampir setengah tahun, akhirnya lo bilang kalau lo suka sama dia."
"Heboh banget sih lo, Den. Gue kan lagi nanya pendapat lo." Davin menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oke, jadi lo suka sama dia kan?"
Davin mengangguk. "Tadi kan gue ngomong gitu."
"Yauda tembak aja," balas Denny dengan enteng. Ia sudah lama menunggu Davin untuk mengakui perasaannya pada Karin. Ia jelas tahu Davin punya perasaan terhadap Karin. Dari cara Davin menatap dan memperdulikan Karin, semua orang juga tahu kalau Davin jatuh cinta pada perempuan itu. Hanya saja, Davin tidak berani mengakui perasaannya sendiri.
Davin menggeleng. "Gak segampang itu juga, Den. Apa gue bisa ngelupain apa yang terjadi di masa lalu?"
Denny menghembuskan nafasnya dengan berat. Masalah ini lagi ujung-ujungnya. Batinnya.
"Gini deh ya. Itu udah masa lalu, Vin. Lo gak bisa terus-terusan hidup dalam bayangan Ashley. Dia udah ninggalin lo dan lo harus lupain dia. Dia gak pantes buat lo," ucap Denny dengan yakin. Ia ingin sahabatnya melupakan perempuan yang telah menyakitinya. Ia ingin sahabatnya bahagia juga tanpa ada bayangan masa lalu yang menyakitkan. Dan ia yakin Karin adalah perempuan yang bisa membuat Davin bahagia.
"Bener sih," gumam Davin. Ia tidak boleh terus-terusan hidup dalam masa lalu. Life must goes on.
Denny menepuk pundak Davin pelan. "Kejarlah sebelum ada yang ngerebut," pesannya sambil tertawa pelan.
"Siapa yang mau rebut? Lo?" Davin mendengus sebal.
Denny kembali tertawa. "Tuh, lo tau. Makanya, cepet ditembak dia nya."
Saat Davin hendak membalas ucapan Denny, terdengar suara ketukan pintu. Mereka sama-sama menoleh dan mendapati Karin yang mengintip lewat celah pintu.
"Eh, ada Karin. Masuk aja sini," ucap Denny sambil berjalan menghampiri Karin dan membukakan pintu lebih lebar.
Karin tersenyum ke arah Denny. "Thankyou, Den."
"Santai ajalah. Kalau gitu, gue mau ke kantin dulu deh. Kayaknya lo gak perlu ke kantin lagi, Vin," goda Denny sambil melirik kotak makanan yang dibawa oleh Karin.
Karin langsung tersipu malu karena ucapan Denny barusan. Ia masih belum terbiasa dengan godaan Denny walau hampir setiap hari Denny menggodanya dengan Davin.
"Udah, sana pergi lo." Davin berjalan menghampiri Karin dan menarik tangannya untuk berjalan ke arah kursi.
"Jangan macem-macem ya! Ini di sekolah," pesan Denny sambil tertawa kencang sebelum menutup pintu dari luar.
Davin menghembuskan nafasnya dengan berat. "Dasar cowok gila."
"Lo emang gak gila?" tanya Karin sambil menahan senyumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Curiosity
Teen Fiction(SUDAH DAPAT DITEMUKAN DI GRAMEDIA) Hari pertama sekolah, Karin sudah membuat satu sekolah heboh. Dan yang membuat heboh adalah Davin, ketua kelas yang cuek pada semua perempuan, menggendongnya ke uks. Sejak saat itu, Karin mulai penasaran dengan se...