02| Kematian di Toilet

439 74 38
                                    

Ayah dan Ibu resmi bercerai seminggu yang lalu. Sebenarnya mereka telah lama merencanakan perceraian ini. Namun, karena masih bingung dengan hak asuh, mereka menunda percerainya. Tapi sial, kematian Jack membuat perceraian itu tak terkelakkan. Pada akhirnya, hak asuhku jatuh kepada Ayah, sedangkan Ryan bersama Ibu.

Aku begitu terpukul mengingat harus kehilangan kedua saudaraku, termasuk sosok Ibu. Nyatanya, yang kususul ke hutan waktu itu bukanlah Ibu, melainkan Hantu Tanpa Mulut. Menurut cerita Ryan, Ibu sebenarnya masih di dalam kamar. Itu sebabnya dia keheranan saat melihatku berlari seperti menyusul seseorang.

Pada saat aku tidak di rumah, Ibu datang ke ruang tamu, dan menyuruh Ryan membuatkan susu untuk Jack. 

Setibanya di dapur, Ryan merasa bingung. Ia melihat Ibu yang sedang mencuci piring. Lalu, siapa yang ada di ruang tamu dan menyuruhnya tadi? Bagaimana mungkin Ibu bisa berada di dua tempat berbeda dalam waktu bersamaan? Tidak salah lagi, dia Hantu Tampa Mulut--menyuruh Ryan ke dapur guna bisa mencelakai Jack yang ditinggal sendirian.

Sekarang, aku dan Ryan terpisah dengan jarak berkilo-kilo meter. Ryan pergi bersama Ibu ke sebuah kota kecil. Katanya, banyak sekali lokasi wisata yang wajib dikunjungi ketika pergi ke sana. Entahlah aku bingung. Apakah Ryan bahagia tinggal di kota indah itu, atau sedih berpisah denganku.

Lupakan soal Ryan, tapi pikirkan tentangku yang terlambat pergi ke sekolah. Saat ini aku tengah berlari melewati keramaian jalan dengan gesit. Awalnya aku menunggu kendaraan umum langananku di simpang tiga. Tapi kendaraan itu tak kunjung datang. Aku tak punya pilihan lain, selain harus berjalan kaki ke sekolah.

Karena kurang hati-hati, aku pun menabrak seseorang. Aku mendongak, dan menatap wajah orang yang kutabrak. Dia seorang gadis yang kutemui di hutan beberapa minggu yang lalu.

“Hai ...,” sapanya tersenyum ramah sembari melambaikan tangan.

Tanpa mengubris, aku pun memilih untuk bangkit dan berlari melanjutkan perjalanan.

“Tunggu!”

Antara mau dan tidak mau. Tapi dengan terpaksa aku berhenti, lalu menoleh ke arah si pemanggil dengan malas.

“Aku bawa sepeda, apakah kamu mau ikut?” tanyanya.

Aku termenung. Apakah aku harus menerima tawaran orang asing yang sama sekali belum kukenal. Atau menolak dan terpaksa di hukum karena terlambat?

“Hm ....” Aku mengangguk setuju.

“Bagus, kalau begitu. Silakan naik.” Gadis itu mengambil sepedanya yang terparkir di pinggir jalan.

Dengan perasaan berat, aku berjalan mendekat. Kemudian duduk berboncengan dengan posisi menghadap belakang. Cukup sekali saja aku melakukan hal gila seperti ini. Berbicara dengan perempuan saja nyaris tidak pernah untuk belakangan minggu terakhir, apa lagi sampai berboncengan? Menurutku, perempuan adalah mahkluk bermulut paling mengerikan yang pernah ada.

“Siapa namamu?” tanya gadis itu di sela-sela keheningan.

“Kevin, dan sebaiknya kamu fokus menyetir,” kataku tak minat.

“Namaku Naomi. Aku baru pindah beberapa bulan yang lalu, dan dulu aku tinggal di Benua Kuning,” terangnya.

Aku tetep diam. Berusaha untuk tidak mengubris kicauan yang tak penting di dengarkan itu. Aku sudah tahu kalau ia berasal dari asia. Hal itu tampak dari wajahnya yang putih dengan rambut hitam legam sepunggung, serta bentuk matanya yang sipit.

Diam! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang