05| Gambar Kematian

217 19 2
                                    

Astaga. Keringat dingin mengucur begitu deras, serta arah pergerakan napas yang tidak terkontrol membuatku seperti orang yang terkena ganguan paru-paru. Aku meraba permukaaan yang ada di bawahku. Lembut dan halus, mungkinkah aku hanya bermimpi buruk? Kurasa tidak sepenuhnya buruk, karena dari mimpi buruk itulah yang membuatku tahu kisah kelam Hantu Tanpa Mulut alias Allen. Tapi yang pasti, aku harus membuktikan kebenarannya lebih dahulu. Karena mimpi kebanyakan adalah suatu hal yang tidak masuk akal.

Kring ... kring ... kring ....

Jam waker yang terletak di atas nakas berbunyi. Sayangnya jam waker itu tidak bermanfaat pagi ini. Karena aku sudah bangun lebih dulu. Tunggu dulu, dan setidaknya karena jam waker inilah aku jadi ingat kalau sekarang jam sekolah.

Aku bangkit dari tidurku, dan dengan langkah gontai menuju kamar mandi. Hedeh, pagi yang sangat dingin. Aku berharap tidak ada mandi pagi, namun apalah daya. Ayah selalu bersikap cerewet seperti Ibu kalau dalam hal kebersihan.

***

“Mau ikut?” tawar Naomi sambil mengayuh sepedanya.

“Tidak perlu.”

“Ya sudah kalau begitu.” Naomi pun melajukan sepedanya menjauh dariku.

Belum sampai beberapa detik, aku pun berteriak, “Aku ikut!”

Cit ....

Decitan rem berhasil memekakkan telinga. Naomi menoleh dengan cepat, dan langsung mengumbar senyum konyolnya.

Oh astaga, apa yang kulakukan? Bisa-bisa aku menderita sakit kepala akut jika berangkat bersamanya. Tapi, ambil sisi baiknya saja. Lagian tadi malam otakku bekerja sangat keras karena mimpi buruk yang kualami. Sehingga sampai sekarang aku masih merasa lelah. Aneh, di saat lagi tidur saja otakku masih mau bekerja. Keuntugan tambahan, aku bisa menghemat uang jajan dengan memilih tidak menaiki kendaraan umum.

“Kamu tidak tidur ya?” tanya Naomi ketika aku baru saja naik ke atas boncengannya.

“Aku tidur lebih awal dari biasanya.”

“Aneh,” balasnya singkat.

Lalu, hening seketika.

Gubrak ....

Aku terpental beberapa meter dari sepeda. Sedangkan Naomi tersungkur di dekat pembatas jalan bersama sepedanya. Kepalaku tersasa sakit, kedua lututku berdarah dan sedikit memar. Aku menyesal berboncengan dengan orang yang sama sekali tidak bisa menyetir.

Pandanganku beralih pada sesorang yang juga jatuh terduduk di belakangku. Ia meringis kesakitan sambil memegangi lengannya. Atau mungkin Naomi menabraknya? Oh tidak, ini akan menambah masalah baru.

Naomi mengangkat sepeda yang menimpanya, lalu berjalan menemui orang yang ia tabrak.

“Nyonya tidak apa-apa?” tanya Naomi dengan raut muka khawatir.

“Anak kecil, kamu harus bertanggug jawab,” tuntut perempuan yang kira-kira berumur 40 tahunan itu.

Naomi memegangi tangan si korban, berusaha membantunya berdiri. “Akan kuantarkan ke rumah sakit.”

Tidak ada jawaban dari perempuan itu. Ia tampak berpikir, dan sesakali memandang ke tempat lain.
Setelah lama menunggu, akhirnya dia menjawab, “Kamu punya uang?”

Apa aku tidak salah dengar? Ini perampokan. Bisa-bisanya perempuan itu meminta bayaran atas luka kecil yang dideritanya.

Naomi mengambil sesuatu di kantung bajunya. “Apa ini cukup?” Naomi menodongkan uang beberapa lembar kepada perampok bertopeng itu.

Diam! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang