I'm Sorry

84 12 1
                                    

Detik jam menggema di penjuru ruangan, menghiasi kesunyian ruang bercahaya terang oleh lampu gantung yang terhias di tengah ruangan. Di dalam ruang tamu uang di duduki oleh dua insan itu kini di landa dengan perasaan yang berbeda-beda. Lelaki itu menatap wanitanya dengan tatapan tajam bak pedang yang bersedia untuk menghunus. Sang wanita hanya bisa menunduk dalam-dalam tak berani bergerak seinci pun.

"Berapa kali aku udah bilang ke kamu. Pulang jangan terlarut malam. Apa kamu tuli?" Wanita itu hanya menggeleng lemah.

"Lihatlah pakaianmu yang sudah tertutup itu. Gimana pendapat orang tentang kamu?" Wanita itu hanya diam tidak berani menjawab.

Lelaki itu bangkit dari duduknya, ia melangkah maju mendekati wanita yang kini meremas jarinya kuat.

"Ini copot aja!" titahnya sambil berusaha melepaskan hijab yang dipakai oleh wanita itu.

"Jangan, Jae. Aku mohon." jawabnya pilu.

"Wanita gak tau malu. Kamu mau jadi liar? Ha?!"

Wanita itu menahan pergelangan tangan lelaki yang di depannya yang masih berusaha untuk meraih hijabnya.

"Jangan, Jae ...." lirihnya.

Ringisan kecil keluar dari bibir mungil wanita itu karena kepalanya terbentur pinggiran kursi kayu. Tidak taukah lelaki itu darah bercucuran melalui belakang kepala yang kini sedang menguatkan diri untuk bertahan dalam kesadarannya.

* * *

"Sayang kamu udah bangun?" tanya lelaki yang melihat wanitanya sedikit bergerak di atas tangan yang dari semalam ia genggam.

Malam yang menakutkan saat tercium bau seperti besi menyeruak di lubang hidungnya. Saat mengetahui wanitanya sudah tidak sadarkan diri barulah ia menyadari hijab wanita itu basah oleh cairan kental berwarna merah.

"Apa masih sakit?" tanya Jae.

Jae membantu kekasihnya untuk bersender di kepala brankar.

"Apa yang terjadi?" tanya Jae.

Wanita itu menghembuskan napas pelan. "Kemarin malam aku kecelakaan, cuma lecet doang."

"Jadi kemarin waktu kamu pulang larut gara-gara kecelakaan?" tanya Jae mulai panik.

"Iya."

"Kok gak nelfon aku?"

Wanita itu terkekeh. "Gimana mau nelfon kamu kan aku gak sadarkan diri."

"Gak ada yang nolongin?"

"Enggak tau deh. Waktu aku bangun jalanan sepi banget. Untung gak ada orang jahat."

Jae menggenggam tangan dingin Syifa--kekasihnya. "Maafin aku udah buruk sangka sama kamu."

"Gak papa, Jae."

Jae mencium bertubi-tubi tangan Syifa yang terasa dingin. Suara ketukan pintu dan dorongan pintu terbuka membuat mereka menoleh mendapati dokter yang sudah membantu pemulihan Syifa.

"Boleh saya bicara berdua dengan anda?" tanyanya pada Jae.

Jae bangkit dari duduknya. "Boleh, Dok."

"Mari ke ruangan saya."

Jae menatap Syifa meminta persetujuan. Syifa menganggukan kepala mengiyakan.

* * *

Jae duduk termenung di atas rumput taman rumah sakit. Ia menjambaki rambutnya kencang tidak peduli pandangan orang berpikir dia gila. Perkataan dokter berputar di otaknya. Pergumpalan darah yang dialami oleh Syifa membuat wanita itu harus di operasi. Dan kemungkinan untuk lancarnya operasi hanya 50% saja.

Jae langsung saja menandatangani lembaran kertas putih untuk menyetujui operasi dilakukan. Tidak memikirkan apa yang terjadi dengan efek operasi itu, yang di dalam pikiran Jae adalah gumpalan darah itu segera diangkat.

Jae memasuki ruangan Syifa. Dilihatnya Syifa sedang memakan buah apel yang sudah dikupas.

"Cipa sayang ...." Panggilan Jae membuat Syifa menoleh.

"Hai ...,"

"Dokter udah ke sini?"

"Aku takut, Jae."

"Ada aku sayang."

Jae memeluk tubuh Syifa. "Aku selalu ada di sini." kata Jae sembari menunjuk dada Syifa.

"Semoga operasinya lancar ya, sayang. Semangat." ujar Jae sembari mencium kening Syifa.

"Kalo operasinya gak berjalan lancar. Kamu harus tetap menjalani hidupmu ya, Jae. Ingat aku selalu ada di sini." kata Syifa sembari menunjuk dada Jae.

"Operasinya pasti lancar, sayang."

* * *

Jae masih memandangi tubuh Syifa dengan tidak percaya. Kekasihnya kini pergi jauh untuk selamanya. Betapa terkejutnya saat dokter menyatakan bahwa operasi yang dilakukan tidak berjalan dengan lancar. Karena gumpalan itu sudah menyebar mengenai otak Syifa.

Tangisannya tidak membuat Syifa untuk kembali hidup. Takdir Tuhan berkata lain, doa yang dipanjatkannya tidak dikabulkan. Berat hati Jae harus mengikhlaskan kepergian Syifa--kekasihnya selama 1 tahun itu. Ia mengingat perkataan Syifa sebelum wanita itu menjalankan operasi. Ia harus menjalankan hidupnya walau tanpa dirinya.

"Sebelum Syifa operasi dia menitipkan surat ini." kata Dokter membuyarkan lamunan Jae.

Jae mengusap air matanya, tenaganya pun sudah habis untuk menahan kepergian Syifa. Dan kini ia harus benar-benar merelakan kekasihnya itu.

To : kekasihku.

Hai Jae, kalo kamu membaca surat ini berarti aku udah kembali kepada-Nya. Jangan bersedih karena aku selalu ada di hati kamu :) suatu saat nanti kamu akan mendapat pengganti yang lebih baik dari aku. Dan aku akan melihatnya dari atas sana.

Jae, aku tau kamu peduli dan sayang sama aku. Aku pun juga begitu. Tapi ingat Jae! Rubahlah sikapmu yang sangat posesif itu. Karena gak semua orang mau di kekang sayang. Bedakan mana peduli dan mana yang mengekang. Bukan cuma sehari aku sama kamu Jae. Dua hari ke depan tepat di mana kita sudah bersama selama 1 tahun. Buat pelajaran aja, di mana orang juga membutuhkan privasi. Dan gak semua orang bisa dengan lapang dada menerima kritikan pedas apalagi dari orang yang disayanginya.

Penyakit jantung yang aku derita kadang membuat aku kaget saat kamu bentak aku, Jae. Tapi semua udah berlalu. Kamu harus kembali menjalankan hari-hari dengan penuh warna. Karena akan ada waktu di mana pelangi itu akan datang.

Jangan terlarut dalam kesedihan, Jae. Air matamu membuat perjalananku kelak tidak akan diterangi oleh Tuhan.

I love you, Jaeludin Budiman.

Jae meremas kertas itu dengan erat. Betapa bodohnya dia tidak mengetahui bahwa Syifa mengidap penyakit jantung. Benar kata Syifa bahwa dia bukanlah peduli melainkan mengekang. Jika dia peduli, ia akan mencuragai sikap Syifa yang sering memegang dadanya.

"Selamat jalan, Syifa. Maafkan aku yang telat mengucapkan kata maaf."

* * *

Sabtu, 23 Juni 2018

Alettaptg_

Antologi Cerpen - Orang TerkasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang