#2

1.8K 212 23
                                    

"Kantin kagak?" ajak Bagas sambil merapihkan buku pelajarannya dan memasukannya ke kolong meja dengan asal. Suasana kelas mulai sepi akibat bel istirahat yang berbunyi beberapa detik yang lalu.

"Kantinnnn," sahut seorang pria lainnya dengan name tag di seragamnya, Altara Diaz.

"Eh, Di. Gita masih sama Raka nggak, sih?" Ilham bertanya di tengah perjalanan mereka menuju kantin. Pandangannya lurus ke depan seolah tidak menyadari Aldi yang saat ini menatapnya sinis.

"Emang kenapa?" Aldi menatap penuh selidik. Tidak biasanya temannya itu menanyakan hal yang berkaitan dengan Gita.

Ilham mengangkat kedua bahunya. "Nanya doang, sih. Lagian gue jarang ngeliat Raka jemput Gita akhir-akhir ini."

"Lo merhatiin dia?"

"Gue duluan mesennya. Lo pada nyusul aja." Ucapan Iman membuyarkan percakapan singkat mereka. Iman langsung lari ke arah kantin. Ia berniat memesan makanan lebih dulu—untuk makanan temannya juga—supaya tidak mengantri terlalu lama.

"Iman strong-an banget dah!" Bagas kali ini berujar. Seolah tidak mendengar percakapan antara Ilham dan Aldi sebelumnya.

"Yoi. Padahal kan murid SMA kita tuh kalau udah di kantin jadi brutal. Dorong sana dorong sini." Kali ini Ilham yang menanggapi. Tidak menjawab pertanyaan Aldi lebih lanjut.

Jam istirahat seperti ini, koridor kelas tampak sepi. Lapangan sekolah justru ramai. Ada yang bermain sepak bola dan basket di lapangan yang berbeda. Padahal saat ini jam menunjukan pukul 10 dan matahari jam segini panas. Apa orang-orang yang melakukan kegiatan di bawah matahari, tidak merasa seperti itu? Apalagi wanita-wanita yang seolah-olah menjadi pendukung yang berdiri di pinggiran lapangan. Kebanyakan dari para wanita itu adalah adik kelasnya yang mengagumi deretan laki-laki angkatannya.

Aldi sering beberapa kali mengajak seorang wanita di angkatan atau adik kelasnya jalan untuk mengisi waktu luangnya. Tidak dalam artian apapun. Walau mereka menganggapnya seperti itu. Aldi terkenal dengan label 'mantan wakil ketua OSIS' sekolahnya dan semenjak saat itu. Banyak adik kelas yang mencari tahu informasi mengenai dirinya. Membuat namanya menjadi booming.

Sesampainya di kantin..., benar saja. Ramai sekali. Hampir tidak ada celah. Kantin layaknya titik pusat di sekolah ini saat jam istirahat tiba.

"Untung Iman udah ngantri," keluh Ilham lalu melirik kedua temannya. Mereka hanya diam dan bola matanya melirik ke sana kemari mencoba mencari Iman.

Tiba-tiba saja Aldi melangkah dan mau tidak mau Bagas dan Ilham mengikutinya. Melewati beberapa pandangan adik kelas yang menatapnya kagum dan menghampiri seseorang yang baru saja keluar dari kerumunan. Raut wajahnya kesal dengan sebuah nampan di tangannya.

"Minggir lo, ah!" Belum Aldi berbicara satu kata pun, perempuan itu sudah marah.

"Kalau lo bisa jawab pertanyaan gue, lo boleh lewat." Arin tampak diam saat Bagas berbicara seperti itu. Seolah sedang menunggu pertanyaan yang Bagas lontarkan dengan wajah yang masam.

"Rin, apa bener kalau anak akuntansi cuma tau surga dan neraca?"

 Arin tampak memutar kedua bola matanya kesal. Menyesal memberikan waktunya yang berharga untuk mendengarkan pertanyaan konyol Bagas. "Awas!" protes Arin mencari celah yang hasilnya malah ditutup-tutupi oleh ketiga pria ini.

"Gue haus." Lalu Aldi mengambil santai sebuah es teh yang ada di nampan Arin dan menyeruputnya tanpa jeda. Membiarkan air tersebut mengalir di tenggorokannya. Matanya tidak lepas dari raut wajah Arin.

"Bangsat lo, ah. Gue ngantrinya lama tau!" maki Arin yang hanya mendapat tatapan diam dari Aldi.

Bagas menepuk bahu Aldi dan Ilham. "Kasih jalan, gais, buat ex-princess-nya Iman." Dan membuat Arin menggerutu tidak jelas.

GreškaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang