2. Kubangan Dalam Hati

177 22 22
                                    

   Mas Inyong mengetuk-ngetuk mikropon Mushala Nurul Amal, kemudian mendekatkan kedua bibirnya sembari menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya.

   "Allahu akbar... Allaaaahu akbar."

   Suara adzan Magrib telah mengisi seantero langit Wanareja. Alunan adzan Mas Inyong yang merdu itu, bak seorang Qori terkenal internasional, Mishary Rashid AlAfasy. Belum ada duanya di Wanareja sosok Mas Inyong ini. Suaranya yang lembut dan tangguh, sudah dikenal dan selalu dirindukan kampung Wanareja.

   Mas Inyong selalu mengakui bahwa dirinya itu bukan Ustadz. Dan marah kalau ada yang berkata demikian kepadanya. Ia selalu setia kepada Ustadz Agus dan mengikutinya pula. Ustadz Agus bahkan menganggap Mas Inyong layaknya adik sendiri. Sepertinya Ustadz Agus memiliki sifat magnetis. Dan hanya satu saja objeknya. Bagaimana bisa seperti itu? Awal pertemuan mereka berdua seperti ini...

   Suatu hari, pada saat ayam sedang berkokok sekeras-kerasnya. Pada saat lembu yang sedang membajak sawah berkeringat deras. Pada saat pohon-pohon mengeluh dan lesu. Pada saat bayi-bayi banyak yang sedang dijemur berbarengan dengan kasurnya. Pada saat orang kantoran sedang pusing-pusingnya dengan pekerjaannya, ada seorang pemuda yang memasuki Mushala Nurul Amal.

   Masuknya tidak seperti orang lain lazimnya, ia mengendap-mengendap dan terlihat gusar. Melihat ke sana-ke sini. Kemudian menempelkan tangannya di moncong pintu Mushala, dan membukanya secara hati-hati sekali. Takut-takut ada yang melihatnya.

   Kemudian ia masuk ke Mushala dan mendeteksi sekitaran Mushala. Seakan-akan sedang mencari sesuatu. Benar saja, ia telah menemukan targetnya. Sebuah kotak amal yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk, dan ada tulisan di kotaknya "Sedekah Jariyah". Ia kemudian mendekati kotak itu, secara hati-hati pula. Nampaknya ia sudah terlatih untuk tidak tertatih-tatih.

   Ia kemudian mencoba untuk mendekati dan berniat untuk membawanya.

   "Kok berisik kotaknya ya?" Dia berbicara sendiri sambil menggoyang-goyangkan kotak itu.

   Dengan terheran-heran ia melakukannya. Namun ia tak ambil pusing. Ia gunakan sebilah kawat untuk membongkar gembok yang tertempel di kotak itu. Ia terus mencoba untuk membuka kekangan gembok tua yang menempel di sana. Hingga ia terkaget-kaget, ada seorang pria berpeci hitam dengan baju putih lengan panjang dan sarung hitam bermotif garis-garis masuk Mushala. Terjadi kecanggungan dan kekagetan antara keduanya selama beberapa detik. Hingga pria yang berjenggot rapi itu berkata kepada pemuda tadi dengan lembut.

   "Kamu lagi apa?" Tanya pria itu.

   Namun pemuda itu tak menjawabnya karena kaget dan canggung. Keringatnya tumpah. Badannya panas dingin. Tangannya masih menempel di gembok, sedang pandangannya tertuju pada pria tadi.

   Bersamaan dengan itu, dinding pun terperanjat, mimbar Mushala pun terperangah, jam dinding juga berhenti berdegup beberapa saat, ketika ada seorang pemuda terpergoki sedang ingin mencuri kotak amal Mushala Nurul Amal.

   "Nama kamu siapa, nak?" Tanya pria berpeci itu.

   "Em... Hendra, Pak Ustadz. Tapi biasa dipanggil Inyong." Jawabnya dengan tergugup-gugup.

   "Ohh... yasudah. Mas Hendra sekarang ambil wudhu, terus shalat Dhuha. Sekalian minta ampun sama Allah. Allah sedang merindukan Mas, sehingga saya didatangkan ke sini." Kata Ustadz itu halus.

   "I... iya Pak Ustadz. Saya minta maaf." Sesal Mas Inyong sambil merunduk.

   Selepas terpergoki, Mas Inyong langsung meletakkan kotak amal itu di tempatnya semula, kemudian mencium tangan Ustadz itu, dan bersegera menuju tempat wudhu.

   Setelah wudhu, Mas Inyong masuk kembali ke Mushala dan mendapatkan Pak Ustadz sudah duluan melaksanakan shalat Dhuha. Mas Inyong shalat Dhuha di belakang Pak Ustadz.

   Rampung shalat, Mas Inyong dipanggil oleh Pak Ustadz.

   "Mas Hendra, sini..."

   "Eh, iya Pak Ustadz." Sembari bergerak merangkak menuju Pak Ustadz.

   "Kenapa kamu melakukan hal tadi? Coba cerita. Saya pengen tau. Barangkali, saya bisa bantu kamu." Kata Pak Ustadz.

   "Iya Ustadz. Jadi begini, ibu saya sedang sakit kepala, adik saya sedang sakit perut. Mungkin karena semalam, makanan yang kita makan itu, lauknya dari yang kemarin. Mungkin lauknya sudah basi. Mereka butuh obat. Sedangkan saya masih nganggur, sedang dalam pencarian kerja. Jadi, saya pikir, saya bisa mengambil beberapa receh dari kotak amal ini buat kesembuhan mereka." Jelas Mas Inyong.

   "Oh jadi begitu. Yasudah, kalau memang begitu, ambillah secukupmu dari kotak itu. Lagipula itu bukan milik Mushala, itu milik Umat. Lainkali, kalau butuh apa-apa, jangan langsung menuruti pikiran pendekmu. Pikirkan lagi akibatnya. Yah?!"

   "Iya Ustadz, saya minta maaf."

   "Oke. Dan juga, berhubung ini Mushala rada tak terurus, kau urus lah rumah Allah ini. Kau pasti akan disayang Allah. Kalau Pencipta Alam Semesta sudah sayang kepadamu, maka bagaimana Alam Semesta akan membencimu?"

   "Iya Ustadz... eh, beneran Ustadz?" Mas Inyong kaget.

   "Iya... nanti Maghrib, kau nimbrung lah di sini. Kita bicarakan."

   "Siap Pak Ustadz... "

   Sejak saat itu, Mas Inyong dengan Ustadz Agus semakin nempel saja. Ya, kurang lebih seperti itulah datangnya Hidayah. Hingga kini, Mas Inyong menjadi orang yang selalu dirindukan di Wanareja, karena suara emasnya itu.

°°°

   Pak Yanto dan Mumun sudah tiba di rumahnya. Sepeda ontelnya juga sudah kembali ke sarangnya yang nyaman. Yusuf dan Hana juga sudah lebih dulu dari mereka. Dengan khidmat dan penuh penghayatan, Pak Yanto menyimak adzan Mas Inyong yang amat merdu itu, sambil memejamkan mata dan membuka gerbang sanubarinya, agar alunan adzan itu menghujam ke dalam sanubarinya.

   "Suf... inilah panggilan terbaik dan terindah di dunia. Kau harus tunduk, tak boleh berbuat macam hal ketika adzan berkumandang, ya?!"

   "Siap Ayah... " Mereka egaliter.

   Memang benar kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bila tak diterpa badai. Yusuf amat mengagumi Ayahnya itu. Begitu pula Mumun yang begitu mencintainya. Bukan cinta nafsu dan ego, melainkan cinta suci yang dilandaskan keimanan yang dalam. Mereka yang sudah 17 tahun menikah, tetapi selalu diselimuti keharmonisan dalam rumah tangganya. Karena mereka tahu, tak payah pertengkaran hadir dalam kerumahtanggaan.

   "Bertengkar itu kau tahu, menang jadi arang, kalah jadi abu. Tak ada gunanya." Pak Yanto selalu menasehati keluarga tercintanya demikian.

   Malam itu, kala bulan memunculkan diri menggantikan mentari yang sudah mengantuk tadi, Pak Yanto dan Mumun duduk di beranda rumahnya, memandangi indahnya gulita malam disirami sinar rembulan. Mereka terkesima akan panorama ciptaanNya, dan bersyukur pula kepada Penciptanya. Semua sudah terlelap. Yusuf, Hana, sepeda ontel, pohon pepaya di samping rumah, beserta pepayanya, telah menutup harinya.

   "Yah... tadi di taman aku liat ada orang yang memberikan hadiah kepada pasangannya. Kapan Ayah begitu?" Mumun frontal.

   "Hmm... iya Mun, Ayah berikan hadiah untukmu nanti. Tapi tak akan Ayah beritahu sekarang jenisnya. Kau sabar dan tunggulah, kejutan dari Ayah."

   "Benar nih,? Alhamdulillaah..." Mumun terlihat sumringah.

   "Iya..." sembari mencium kening istrinya itu. Aih, romantisnya malam itu. Tersipu malu bulan dibuatnya.

   Malam itu telah berakhir. Mereka kembali ke kamar menutup hari mereka. Kejutan dari Pak Yanto yang masih dirahasiakan kepada Mumun, menimbulkan tanya pada dirinya, hingga membuat kubangan dalam hatinya, menunggu-nunggu hal itu terlahir. °°

Pecandu SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang