4. Allah sudah merindu

86 18 7
                                    

   Tak ada yang sanggup untuk membentur takdir yang sudah Allah tetapkan. Tak ada yang bisa mengakhirkannya, tak ada pula yang mampu menyegerakannya. Pak Yanto adalah orang baik yang dicintai tetangganya di kampung Wanareja. Seorang murah senyum dan murah tangan. Seorang ayah hebat bagi anak-anaknya, seorang suami hebat bagi istrinya, dan seorang masyarakat hebat di tengah-tengah lingkungannya. Namun itu semua hanya menjadi guratan sejarah tanpa tinta saja. Hanya ingatan yang mampu menyimpannya. Pak Yanto telah meninggal dunia sore itu. Tubuhnya yang penuh dengan luka ditemukan salah seorang warga yang melintas di sana, dan segera dilarikan ke rumah sakit untuk diotopsi.

   Kabar angin menyelinap di telinga keluarga Pak Yanto. Batin mereka serasa ditusuk-tusuk tak terkira akan kejadian ini. Apalah daya, Allah sudah merindukan Pak Yanto. Dia ingin malaikatNya menyapa hangat Pak Yanto di depan pintu surga. Itulah balasan yang Allah sediakan bagi orang bertaqwa yang senantiasa melancarkan kebaikan semasa hidupnya di dunia. Itu yang selalu Pak Yanto ajarkan kepada keluarganya, nasehat dari Ustadz Agus.

   Tangisan Mumun memuncak kala ada seseorang yang mengantarkan bingkisan dari tempat kejadian tabrak lari tadi. Ia buka bingkisan itu dengan banjiran air mata dan isak tangis yang luar biasa dan tersengal-sengal. Namun Mumun sabar dan ingat, bahwa ia tak boleh terlarut dalam tangisan dan guratan takdir ini. Semua pasti ada hikmahnya, katanya.

   Pak Yanto, 4 Februari 1996 telah terkubur bersama amal dan kenangan yang ia tinggalkan. Semua warga kampung Wanareja menyesali dan menangisi kepergiannya memenuhi panggilan dari Yang Maha Pencinta, karena Dia sudah amat merindukannya. Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Hanya sunyi, amal, dan doa dari orang-orang yang menemani perjalanan  menuju rute selanjutnya dalam kisah hidupnya yang hebat.

    Jenazahnya dishalati oleh warga sekampung tak terkecuali. Yang memiliki alasan/uzur pun tetap berusaha menghadiri dan melihat wajah mulia Pak Yanto untuk terakhir kalinya. Mas Tarmiji kelihangan kawan karib mengoseng kerupuk yang handal itu. Terpukul sangat batinnya. Pak Yanto telah mengajarkan kepadanya macam-macam makna kehidupan dan pelajaran untuk menyikapinya.

                            °°°

    Keesokan harinya, sangat terasa ada yang mengganjal dan kurang di keluarga Pak Yanto. Desas-desus suara radio pagi hari itu tak lagi memenuhi seisi rumah. Di dapur, kopi masih tersisa dan entah mau dibagaimakan. Yusuf dan Hana masih meratapi kepergian ayahanda tercintanya. Belum bisa kembali seperti semula. Waktu. Hanya waktu yang mampu merubah semua itu.

   Mumun didahului oleh suami tercintanya, dengan kenangan berupa hadiah terakhir yang Pak Yanto tinggalkan dan titip untuknya. Ini berarti, ia menjadi tulang punggung keluarga sekarang. Bertumpuk-tumpuk beban harus ia terima demi merengkuh kebahagiaan dirinya, keluarganya, dan suaminya tercinta. 19 Tahun menikah adalah angka yang cukup lama. Pak Yanto meninggal pada usia 48 tahun.

   Hingga saat itu pusaranya banyak dibanjiri oleh orang-orang yang ingin mendoakan kebaikan bagi Pak Yanto. Orang yang tak mengenalinya pun ikut-ikutan.

   Mentari yang hendak menampakkan diri kala itu tak sanggup menahan lara dan duka atas kepergian Pak Yanto. Hingga akhirnya mentari pun menangis sambil muncul perlahan. Tidak ada siraman sinar mentari lagi kala itu. Hanya tangis yang membasahi bumi. Pak Yanto telah tiada. °°

Pecandu SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang