Berita gembira terus berdatangan menghampiri Mumun dan keluarga. Mumun senang, Yusuf senang, Hana senang, Pak Yanto senang di sana. Kawan-kawan Yusuf menyanggupi semua. Aceng, Labib, Ipul dan Udin.
Orang tua mereka setuju dan ikut senang pula, mendengar keinginan anak-anak mereka untuk belajar di pesantren.
Sudah sore. Matahari sudah terlihat lelah dan memudar semburat cahaya bersihnya. Kini menguning, menjingga, dan mengantuk. Perannya sesaat lagi akan diganti oleh bulan. Dan Mas Inyong, sudah siap-siap di depan mikropon, dengan segelas air putih di sampingnya. Hari senin, ia biasa puasa senin-kamis soalnya.
Adzan terdengar begitu merdu Maghrib itu. Betul-betul indah. Alunan melodi adzan yang mendayu-dayu itu menghentikan seluruh kegiatan yang ada di Wanareja, menghormati dan menyimak dengan syahdu gema adzan Maghrib.
Sampan-sampan yang bergelimpangan di bibir pantai dengan rapi ikut menyimak dan menghormati Mas Inyong adzan.
Berbondong-bondong warga Wanareja pergi ke Mushala Nurul Amal yang cukup luas itu. Yang kini sudah difasilitasi teras yang siap menampung jamaah yang lebih banyak. Tak lupa ucapan terima kasih kepada Kepala Dusun Wanareja yang keren ; Pak Dian.
"Laa ilaaha illallaaahh...."
Mas Inyong menutup adzannya dengan doa.
Pintu utara, selatan, dan timur terbuka lebar bagi siapa saja jamaah yang hendak melaksanakan shalat Maghrib.
Iqomah sudah dikumandangkan. Para jamaah mulai berbaris rapi mengikuti titah sang imam ; Ustadz Agus. Mereka mencoba merapikan diri mereka masing-masing. Tak terkecuali Yusuf, Aceng, Labib, Ipul, dan Udin.
Maghrib itu terasa amat hangat dan nyaman. Dihiasi dengan alunan bacaan indah ala Ustadz Agus, menambah kesyahduan Maghrib itu. Tak ada sesuatupun yang berdesit. Semua diam, tenang, dan khusyu. Semua bergeming.
Seakan-akan semesta terhenti. Kosong. Diam. Menyimak dan menyaksikan Maghrib itu.
Dan, Maghrib lewat sudah. Dilanjut dengan Isya, penanda waktu sudah malam. Langit gulita bertabur kelap-kelip bintang yang menggelora dengan indah. Rasi bintang yang mengguratkan macam-macam isyarat, seakan mengatakan "hei, indah sekali, bukan?"
°°°
Labib bangun pagi. Dengan mengikatkan sarung di pinggulnya, ia meluncur menuju Mushala untuk shalat Subuh berjamaah. Layaknya Atlas yang dalam mitologi Yunani kuno diberi hukuman untuk memanggul bumi yang sebegitu besar dan beratnya, begitupula Labib. Berat rasanya bagi mata untuk membuka.
Dengan seringkali menguap, mengeluarkan gas dan bau yang khas, ia tetap tegak berdiri membayangi gerakan sang imam.
Mengaji pun tak sanggup rasanya. Sampai Ipul berkata,
"Bib, melek Bib, melek. Tidur melulu." Sembari menggoyah-goyahkan Labib yang seperti low batt.
"Emmmm... i.. iya ah." Kata Labib dengan seperapat sadar.
"Eh ari maneh teh sare wae Bib ah, bisi dibanjur ku urang yeuh." Celetuk Aceng.
"Hemmm..." Ia bergerutu.
Aceng pergi ke kamar mandi, mencelupkan kedua tangannya ke bak mandi yang berisi air bersensasi dingin. Terlalu segar mungkin. Ia kembali ke dalam Mushala, lalu ia usapkan tangannya ke wajah Labib yang kuyu itu. Sembari menepuk punggung Labib. Akhirnya Labib, cenghar (Segar) kembali.
Seperti itu memang kebiasaan mereka kala Subuh. Mengaji dan menghafal Al Quran bersama, dimentori oleh Ustadz Agus dan dikawal oleh Mas Inyong. Setiap hari, kecuali hari Ahad. Karena libur, dan disuruh Ustadz untuk bantu-bantu orang tua di rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pecandu Surga
Novela Juvenil[ On Going ] Einstein memang brilian. Relativitas waktu itu memang ada. Dijalani dengan perlahan oleh mereka-mereka yang bercita-cita membaktikan diri, untuk dunia yang lebih baik. -- Peringatan -- Pilah-pilih dalam membaca itu bukan sekedar...