3. Hari itu...

119 19 4
                                    

   Pagi itu mereka bangun awal, seperti biasanya, tak pernah tertinggal, selalu mendahului, tak pernah kalah, dari waktu Subuh berkumandang. Tidur awal, bangun juga awal, itulah prinsip hidup keluarga Pak Yanto yang sedang dibudayakan dan berkeinginan untuk membudidayakannya. Sebab Pak Yanto pernah mendengar Ustadz Agus berkata ketika menumpahkan siraman rohani dan spiritual keislaman kepada para Jama'ahnya, termasuk Pak Yanto di sana.

   Seperti ini katanya, bahwa Nabi Muhammad itu sangat-amat menekankan agar umatnya tak terlewat shalat Fajar ; shalat dua raka'at sebelum shalat Subuh. Karena apabila umatnya melakukan demikian, maka sekonyong-konyong ia akan menjadi orang terkaya dan terbahagia di dunia, karena apa? Karena Nabi Muhammad pernah berkata "Shalat Fajar itu lebih baik daripada dunia beserta segala isinya". Keangguk-anggukan Pak Yanto saat itu menandakan ia paham, dan mentrasformasikannya menjadi prinsip hidupnya yang harus ia dekap sampai mati. Dahsyat.

   Selepas shalat Subuh di Mushala Nurul Amal sekeluarga, mereka melakukan aktifitas rutin selepas Subuh.

   Pak Yanto, setelah mengaji dan mandi pagi, ia keluar rumah dan bersemayam di beranda hangatnya ditemani radio antik kesayangannya sambil menyuruput kopi pagi ditemani hunjaman cahaya mentari.

   Mumun, layaknya seorang ibu pada umumnya, menyiapkan segala kebutuhan keluarganya, dan bertugas untuk membuat rumah menjadi steril tanpa kotoran dan bakteri. Sekaligus menyiapkan sarapan. Tak lupa, dan tak boleh lupa sarapan. Sarapan itu penting. Jangan sampai usus yang ada di lambung itu berderus-derus karena tak sarapan.

   Kemudian Yusuf. Ah, dia memang menyandang sifat ayahnya yang penuh antusias, namun ia belum sampai ke level itu. Dia sedang tidur-tiduran sambil membaca buku. Belum mandi dan entah apakah ia berniat mandi. Tak tahu.

   Sekarang Hana. Tak jauh dari ibunya. Ia membantu ibunya menyiapkan kebutuhan keluarga mulai dari sarapan, perlengkapan kantor Pak Yanto, perlengkalan belajar Yusuf dan Hana, mensterilkan rumah dari kuman, kotoran dan bakteri yang mengacau, dan mencuci piring. Anak perempuan memang seharusnya seperti itu, tak naif, anak laki-laki juga harusnya terenyuh untuk membantu. Ya, kurang lebih seperti itu.

   Mereka semua siap. Mereka sudah siap. Mereka sudah menyiapkan perlengkapan dan perbekalan masing-masing. Pak Yanto dengan setelannya yang macam orang kantoran, hanya sendalnya saja tidak. Yusuf yang tampak gagah menggunakan peci hitam miring ke kiri 12°, dan kaus kaki hitam setengah putihnya yang elegan sehabis dicuci. Hana yang terlihat anggun dengan kerudung dan baju lengan panjang yang cantik dilengkapi renda di tepiannya. Kerudung putih dengan seragam berwarna hijau putih bercorak macam batik. Lengkap dengan kaus kaki putih nan suci yang menambah keindahan dan keanggunan Hana. Ya, setidaknya begitu.

   Mereka berangkat menuju medan Jihad masing-masing. Pak Yanto ke pabrik kerupuk Cinta Rasa. Meluncur deras dengan sepeda ontel tercintanya yang sudah bangun. Pohon pepaya ditinggalkan dalam keadaan masih terlelap memejamkan mata. Yusuf dan Hana dengan hentakkan kaki berfrekuensi stabil, menuju MI (SD) Wanareja di Jl. Jeruk Legi. MI yang sudah senior namun masih gagah perkasa dan eksis. Tak lapuk oleh genangan waktu. Tetap kokoh dan akan terus kokoh tak tergoyahkan. Yusuf kelas 4, Hana kelas 3.

   Mumun? Mumun menjadi kuncen di rumah, mengurus segala urusan dan tetek bengek. Menjaga rumah dari segala marabahaya yang bisa mengancam, seperti ada yang mengambil buah pepaya dengan tidak sopan, mencabuti buah kersen di depan rumahnya dengan angkuh dan tak ramah, dan macam lainnya. Diam di rumah dengan setia menunggu hadiah dari  suami tersayang dan tercintanya itu, yang masih dirahasiakan.

   Pak Yanto sekonyong-konyong telah tiba di pabrik kerupuk Cinta Rasa. Dengan kawan karib sesama pengoseng kerupuk, Mas Tarmiji, ia sapa kawanan kerupuk yang baru bangun tidur itu. Pak Yanto dan Mas Tarmiji sudah menjelma menjadi pakar oseng kerupuk, karena mereka memperlakukan kawanan kerupuk itu dengan penuh cinta dan kasih sayang. Mereka membaginya menjadi beberapa kabilah. Kabilah Segi Delapan, Kabilah Bulat, Kabilah Panjang, Kabilah Bolong, dan Kabilah Pelangi. Oleh karena itu, kerupuk-kerupuk yang berceceran itu dapat berjumpa dengan keluarga dan marganya masing-masing.

   Juga tak lupa, seperti nama pabrik ini, yang sangat memperhatikan keelokan fisik kerupuk berikut cita rasanya yang harus memenuhi standar ideal pabrik kerupuk Cinta Rasa ini. Yang pedas agar tak terlampau pedas, yang gurih agar tak terjangkiti rasa hambar, dan yang asin agar tak terlempar jauh, terlalu asin. Dan yang dipercayai oleh Mas Udin, pemilik pabrik kerupuk ini adalah Pak Yanto dan Mas Tarmiji.

   "Coba kau rasakan dulu Yan, renungi. Agar para pelanggan kita tak sakit hati karena merasa dibohongi dengan nama pabrik yang indah ini." Mas Tarmiji serius mengatakannya.

   Mas Tarmiji ini senang tapi kurang pandai bersajak ria. Sekenanya saja. Keseringannya menonton Ludruk dan Wayang Kulit secara tidak sadar menkontruksi jiwa sastranya yang tertidur pulas.

   Lepas bekerja di sana, Pak Yanto berpamitan dan langsung meluncur deras ke tempat yang sudah ia incar, sebagai referensi untuk hadiah sang istri tercintanya. Aih, romantis sekali.

   Jajaran pohon yang tersenyum kepadanya sepanjang jalan menambah semangat kayuh Pak Yanto dan membakar prestise sepeda ontel tua itu.

   Tujuan sudah tergambar abu-abu di depan, dan mata penuh semangat Pak Yanto sudah memfokuskan diri pada sebuah bangunan klasik yang agak sedikit berdebu itu. Ketika sudah mendekatinya, tertancap di depan bangunan itu tulisan "Anda sekolah? Parkir di sini." Seketika Pak Yanto mengistirahatkan sepeda ontel tuanya itu depan bangunan. Sepedanya sedih karena tak dibiarkan ikut tuannya masuk bangunan yang sedikit berdebu itu. Pak Yanto melempar pandangannya ke atas bangunan, melihat ada tulisan dengan aksara yang unik dan ketinggalan jaman, aksara tahun 80-an, terpampang dengan anggun tulisan "Butik Abadi" di sana.

   "Butik Abadi, ya?" Pak Yanto menyimpan tanya.

   Peduli sekali, Pak Yanto masuk Butik itu. Pintu kaca geser yang agak berdebu itu menambah nilai keunikan dari Butik ini. Pak Yanto makin penasaran dan makin percaya perkataan kawan karibnya, Mas Tarmiji yang mengatakan,

   "Untuk kau yang penyemangat ni, kuberi tahu ya, tak ada hadiah spesial yang pantas kau belikan untuk istri kau ni, kecuali pakaian yang anggun nun elok. Ini sebagai dalil untuk kau saja, belilah di Butik Abadi , ujung jalan sana dekat toko beras." Penuh percaya diri Mas Tarmiji mengatakannya sambil menepuk pundak Pak Yanto kala masih di pabrik tadi.

   Ia masuk sembari mengucapkan salam dengan agak keras, dan terdengar lamat-lamat jawaban salam dari penjuru sana.

   "Ya mas... ada yang bisa dibant u?" Sayup-sayup suara tadi makin jelas terdengar. Suara seorang pemuda nampaknya.

   Dan benar saja.

   "Oh.. ini mas, saya sedang mencari gamis untuk hadiah istri saya." Ketus Pak Yanto sambil tersenyum hemat.

   "Hadiah ya? Tunggu sebentar mas." Air wajah pemuda tadi berubah sumringah. Sembari menunggu, Pak Yanto memutari Butik melihat-lihat pakaian. Tak lama kemudian, hanya 5 menit, pemuda tadi datang dan membawa gamis merah muda bergaris putih di ujung lengan dan kakinya, dihiasi dengan manik-manik yang mendiami daerah pinggulnya. Pak Yanto terperanjat akan pilihan pemuda tadi yang anggun ini. Tak payah pikir panjang, Pak Yanto boyong gamis ini untuk hadiah sang istri tercinta. Tak lupa ia berterimakasih kepada pemuda yang sudah memilihkannya gamis indah nun anggun itu.

   Sepeda ontel yang selalu setia menunggu terheran-terheran pada Pak Yanto yang terlihat amat gembira dan terbakar itu. Mereka lekas pulang dengan kecepatan maksimal. Senja yang menjadi saksi kala itu. Mereka berlalu dengan kencang, sehingga anginnya menampar-nampar segala apa yang ada di susur mereka. Kesal rerumputan dibuatnya. Pohon-pohon bahkan tak sempat mengucapkan selamat jalan dan hati-hati. Polisi tidur pun dilaluinya tanpa permisi. Kilau dan siraman senja tak ayal lagi mereka hiraukan. Hingga sampai di perempatan jalan, aura nahas sedang menunggu mereka. Ketika melintas di perempatan itu, tak terlihat dari arah sebelah kanan mobil sedan berwarna hitam meluncur deras ke arah Pak Yanto dan sepedanya. Tak tentu arah. Sekonyong-konyong, Pak Yanto dan sepedanya terpental dan menabrak pohon di samping kirinya. Darah luka kini mulai mengalir menyelimutinya. Sepedanya sudah mendahuluinya dengan kondisi yang ringsek memprihatinkan. Pak Yanto berdarah-darah dan mulai kehilangan cahayanya. Tak mampu menggerakkan semua sendinya. Ia hanya mampu berucap "La ilaha illallah". Kalimat ini menjadi penutup kisah perjalanan hidupnya.

   Hari itu, semua terdiam. Langit tak mampu berkata apapun. Pengemudi mobil sedan melarikan diri. Mereka sudah tiada. Hanya gamis penuh cinta yang tersisa. Pak Yanto telah meninggal dunia. °°

Pecandu SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang