8. Pemboyongan

30 6 2
                                    

   Sebenarnya tanpa direncanakan, hanya tiba-tiba muncul dan mengatakan,

   "Kamu coba cari teman."

   Siapa itu? Entah siapa. Itu yang sesekali menghinggap di benak Yusuf.

   Mumun sampai saat itu pun masih pusing, tapi secuil demi secuil pusingnya hilang karena kehadiran Hana yang selalu saja menenangkan. Hana, remaja putri yang aktif, tak pasif. Mungkin karena DNA yang tercecer dari ayahnya, Pak Yanto.

   Siapapun, yang berjumpa dan berbicara dengan Hana, pasti akan merasa nyaman dan senang bisa di sampingnya. Termasuk ibunya, Maimunah. Saban hari di dapur, Hana selalu membantu ibunya memasak untuk bertiga. Potong sayur? Bolehlah. Mencuci sayur? Bolehlah. Potong bawang? Bolehlah. Beli minyak tanah? Oh bukan, itu urusan Yusuf.

    Nampaknya Mumun masih termenung, terlihat dari alis matanya yang melengkung ke arah yang berlawanan. Lintasan kerutan yang malang melintang di dahi keruhnya, menambah penampakan Mumun, bahwa ia tak lagi muda.

    Bu Fitri, yang menjadi informan bagi Mumun menyarankan agar putra tercintanya disekolahkan di pesantren. Mumun setuju, memang itu inginnya. Hanya saja, ia masih belum dapat informasi dan masih terus berusaha memberi makan dompetnya, agar gemuk.

   Hari itu, hari senin. 9 hari sebelum dimulainya Tahun Ajaran Baru, namun Yusuf masih belum memegang sekolah manapun. Tapi sisa hari itu masih cukup. Ya, sekalipun lewat dari itu, sebenarnya juga masih bisa masuk sekolah. Hanya telat saja.

   Tapi yang Mumun pikir, bagaimana supaya Yusuf dapat beradaptasi di sana -entah di mana- , berbarengan dengan murid-murid yang juga baru. Biar serentak.

   Pagi itu ia isi dengan Shalat Dhuha 4 rakaat. Di rumah mungil, dengan beranda yang sekarang kosong dari kicauan radio Gelanggang Suara itu, ia coba bangun koneksi dengan Sang Pengatur Semesta.

    "Ya Allah... tanpa hamba minta pun, Engkau pasti sudah mengetahui apa yang hamba butuhkan. Astaghfirullah... astaghfirullah... astaghfirullah... " Begitu do'anya. Lirih-lirih ia panjatkan dengan penuh harapan dan takut.

   Takut tidak dikabulkan, dan tapi berharap dikabulkan.

   Sajadah sudah ia rapikan kembali. Yusuf sedang keluar rumah, entah ke mana dan sedang apa. Sepertinya sedang di lapang. Hana sibuk membuka-buka lembaran buku Tuntunan Shalat Lengkap sambil komat-kamit mengikuti aksara yang ada di buku.

   Hingga saat matahari makin membara, keluh kesah penduduk bumi makin menjadi-jadi, saat mas Inyong sudah mematikan mikropon, ada angin segar yang menjumpai Mumun. Ia dapat informasi dari Ustadz Agus, perihal koordinat dan komposisi Pesantren Ahsanul Husna di daerah Jakarta.

   Jakarta nun jauh di sana. Kota besar dan super padat. Segala ekspresi bangsa Indonesia hadir dan nampak di sana. Kota metropolitan itu pun menjadi bulan-bulanan masyarakat kampung pada khususnya, untuk mengais rezeki di sana.

    Bagaimana dengan integritas pendidikan di sana? Jakarta bisa dinilai cukup bagus kualitas dan kuantitas pendidikannya. Berpuluh-puluh universitas dan institusi banyak yang telah melahirkan ribuan sarjana hebat.

    Tapi nampaknya, satu yang kurang dari Jakarta. Di samping aspek-aspek kehidupan yang mumpuni, Jakarta pincang dalam masalah moral dan akhlaq. Itu yang membuat Mumun berpikir dua kali. Entah dua kali, atau kedua kalinya pusing.

    Namun inilah kesempatan emas, kata batin Mumun. Pesantren Ahsanul Husna, Jakarta, akan menjadi tangga selanjutnya dalam perjalanan hidup Yusuf.

    Mumun sudah lega sekarang. Tapi matahari masih terus menggelora. Tak tahu adat dia. Sudah, biarkan, abaikan saja.

                                 °°°

Pecandu SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang