10. Integritas Moral

67 5 13
                                    

   Bis Viola meluncur deras menuju Jakarta. Meliak-liuk di jalanan menyapa rimbunan dedaunan. Bis karatan yang catnya terjangkit panu itu, dengan segenap hati mengantarkan orang-orang yang duduk di dalamnya ke manapun mereka mau.

   Bis ini unik. Untuk semua orang yang duduk di dalamnya, gratis biaya. Makanya banyak disenangi orang. Namun, ketika hendak turun, agaknya harus memberikan seonggok uang. Takut takut kondekturnya naik darah.

   Terminal Mangkat Selamat sudah tak lagi terlihat. Pepohonan yang berbaris rapi di susur jalan, menemani kepergian Bis Viola. Jendela yang terbuka, membuat kesegaran udara makin terasa. Hingga ketika,

   "Hmm... opo iki? Ambunee..." Kata salah seorang penumpang bujang sembari menjepit hidung dengan jarinya.

   Ah, Ipul rupanya. Seharusnya bis itu yang melakukannya, tapi sudah didahului oleh Ipul. Dia menghembuskan gas asam bercampur karbondioksida. Tak ramah lingkungan memang.

   Hijaunya sesawahan yang membentang, yang tengah digarap oleh para petani yang selalu riang, gagahnya gunung-gunung yang tinggi menjulang, seakan-akan membuat langit tertopang.

   Ketika tiba di Wangon, terasa seperti dihimpit oleh perbukitan yang di datarannya banyak ditanami pohon singkong. Namun agaknya sayang, karena Yusuf tertidur pulas. Kalau Yusuf tertidur pulas, tau bagaimana kan, kawan? Labib sudah terlempar jauh ke alam bawah sadarnya. Tak peduli orang di samping, depan, dan belakangnya terganggu karena bisingnya. Muda memang, tapi gayanya sudah tua. Efek reformasi nampaknya masih meninggalkan angan dan luka.

   Di Wangon, ada penumpang lain masuk bis, mahasiswa nampaknya, karena ia membawa kardus yang dipanggul. Entah apa isinya. Mungkin beberapa lusin pakaian untuk yatim.

   Bis meneruskan perjalanannya yang masih panjang membentang. Garis akhir yang menanti di sana masih menunggu dengan tenang.

   Jembatan yang di bawahnya terdapat sungai besar yang mengalir deras pun terlewati. Banjar sudah ditapaki. Berderet-deret penjual Es Kelapa menggelar dagangan di sisi jalan. Berniat bagus memang, namun menandakan ke-kurang strategis-an koordinat pedagang, yang artinya kurang pendidikan ekonomi.

  Adam Smith agaknya sedikit bertanggung jawab atas hal ini. Bapak Ekonomi yang memiliki segudang teori tentang ekonomi ini harus memutar otak kembali untuk memvalidisasi teori, atau bahkan bisa disebut hipotesa itu. Indonesia harus makmur dan sejahtera.

   Setelah bergoyang-goyang ria di Banjar, ban Bis Viola terus bergulir seakan-akan menggulung jalan. Tekanan ban yang mumpuni itu bisa diajak kompromi. Tapi berbeda halnya dengan perut Bis Viola. Sang supir melambatkan laju bisnya dan mengubah haluan untuk mendapat sedikit asupan energi dari penyuplai. Bis Viola meneguk bensin dengan begitu lahap, menandakan ia bersemangat untuk mengantar para penumpang ke manapun mereka tuju.

   Keluar pom dengan begitu anggun, dengan perut yang sudah terisi, Bis Viola melanjutkan perjalanan diiringi dengan lambaian tangan Mas Pengisi Bensin.

   Menuju ke rute selanjutnya ; Ciamis. Gunung Bongkok yang terlihat di ufuk utara sana, seperti orang yang sedang ruku'. Karena itulah dinamakan dengan Bongkok = Bungkuk.

   Landscape Ciamis hampir serupa dengan Cilacap, yang sepanjang jalan membentang luas hijaunya sawah nun sedap dipandang mata. Sejuknya udara serasa menampar-nampar kala jendela bis dibuka. Melihat sekawanan kerbau yang sedang membajak sawah ditemani mentor-mentornya. Jalanan yang sedikit bergelombang, dengan laju yang cukup deras, menimbulkan sensasi luar biasa.

   Karena terlalu menikmati perjalanan, mereka berlima tidur. Bahkan kondektur yang duduk persis di samping pintu bis pun terkantuk-kantuk. Ciamis berlalu tanpa mereka saksikan panoramanya yang begitu indah.

Pecandu SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang