1. Semilir Angin

392 46 61
                                    

   Pak Yanto terlihat sedang duduk-duduk di beranda rumahnya yang klasik sambil menggenggam erat gelas tanpa gagang yang berisikan kopi hitam yang masih panas.

   "Duh...", seketika ia letakkan ke mejanya kembali secepat kereta Shinkansen.

   Pak Yanto adalah seorang pekerja keras, pantang menyerah, peduli dengan keluarganya, dan seorang yang dicintai di kampungnya. Kerjanya sebagai pengoseng kerupuk di pabrik kerupuk Cinta Rasa itu amat dicintai olehnya. Dan dengan itu ia menggelutinya sedemikian antusias.

   Datang sebelum yang lain datang, dan tak akan pulang sebelum tempat kerjanya steril kembali setelah digunakan.

   Pergi ba'da Subuh, pulang sebelum Maghrib. Acapkali memakai kemeja rapi dibalut dengan parfum coklatnya, celananya macam celana kantoran. Sudah macam orang kantoran memang, akan tetapi hanya sepatunya yang tidak. Ia memakai sendal semacam selop yang selalu ia semir kala akan berangkat kerja. Ia tak peduli meski ia pulang dalam keadaan bau kerupuk.

   Ia mencintai pekerjaannya.

   Hal yang amat dibencinya adalah ketika sampai pada hari libur. Ketika ia ditinggal oleh sekawanan kerupuk yang bermacam-macam bentuk dan warnanya itu. Ketika tidak disapa aura dan aroma kerupuk yang sedang digoreng atau disangrai. Ketika ia tidak beraksi dengan spatula besarnya itu. Menganggur adalah musuh terbesar dan terberatnya. Bila berada di rumah lebih dari 6 jam, ia akan senewen dan gelisah.

   "Mah, kita minggat sebentar dari rumah ini yu."

   "Kenapa Yah?"

   "Kesal lah jiwa ayah di sini." Macam orang Melayu bicaranya.

   Yusuf dan Hana yang sedang bermain di bibir hutan, khusyu dengan kesibukannya. Jadi momen ini Pak Yanto manfaatkan untuk sedikit berpacaran dengan istri tercintanya. Aih...

   Sore itu, ia bonceng istrinya dengan sepeda ontel yang sudah reyot dan tampak mau roboh karena sudah tua. Sepeda ontel itu adalah peninggalan dari paman Pak Yanto ketika masih kecil. Pak Yanto tua, sepeda itu ikut tuannya juga menjadi tua. Tua-tua seperti itu, sepeda ontel Pak Yanto masih sanggup untuk melaju sekencang 25-30 Km/jam. Pria dan sepeda tua yang berjiwa muda.

   Sepeda ontel tadi itu, ia simpan rapi-rapi di samping rumahnya yang juga sudah reyot dan catnya mulai mengidap penyakit panu, keropos, karena sudah lama tak ditambal dengan tampilan baru. Namun hal itu tak mengurangi nilai klasik dan anggun dari rumah itu. Rumah itu memiliki dua jendela berbentuk persegi menghadap ke jalan di depan. Juga ada beranda di sana. Tempat bersemayam dan merenung Pak Yanto, sembari meminum kopi dan mendengarkan radio Gelanggang Suara yang suka memutar lagu The Beattles, Bon Jovi, Stinky, atau Wayang. Dan di samping rumah ada semacam gubuk yang bertahtakan permadani dari kayu dan anyaman daun kelapa, dihiasi pemandangan klasik berupa salah satu bentuk otomotif yang keren dan klasik pula. Seperti itulah.

   Maimunah duduk menyamping di belakang Pak Yanto yang sudah siap sedia menuju kemanapun yang Mumun -panggilan Maimunah- mau, asalkan tidak melumut di rumah karena menganggur. Selain esensi nilai klasik dari sepeda ontel itu, juga dihiasi semacam bel di setang kanannya. Belnya sudah rada keras menariknya. Mumun bahagia dengan itu.

   "Yah, Taman Batavia kalau sore suka rame ya?" Tanya Mumun.

   "Entah. Nampaknya seperti itu." Pak Yanto masih menggoes sepeda.

   "Ke sana yuk Yah, Mumun sedang rindu mentari kalau mengantuk."

   "Mentari mengantuk? Bisa kah?" Pak Yanto terheran-heran.

   "Ih maksudnya Yah, Sunset itu Yah."

   "Oh. Macam mana lah kamu ni, mentari mana ada yang mengantuk. Bisa-bisa kiamat lah..." Celetuk yang menyebalkan Pak Yanto.

   "Ya sudah... pegangan yang erat Mun. Ayah akan berlalu secepat angin."

   "Jangan Yah..."

   "Tak pa. Tak perlu khawatir..."

   Benar saja. Pak Yanto memompa kayuhan sepedanya begitu cepat. Kecepatan maksimal. Seiringan dengan detak jantung Mumun yang juga berdegup dengan hebat. Tapi Pak Yanto tetap fokus ke depan memperhatikan jalan. Tak lama kemudian, setelah melewati areal persawahan dan perkebunan, tibalah mereka di Taman Batavia agak dekat dengan pantai. Mereka tepat waktu. Mumun tak mampu bercakap apapun. Ia masih terperanjat dengan nafas yang tersengal-sengal. Sepedanya? Ah, dia baik-baik saja ternyata. Hanya butuh istirahat. Sedangkan Pak Yanto? Ah, seakan tak merasakan apapun dan tanpa efek apapun. Hebat.

   Lepas itu, Pak Yanto menyenderkan sepedanya di sebuah pohon, dan menggandeng istrinya dengan anggun menuju kursi panjang yang mengarah ke barat. Banyak pula orang berceceran di sana. Ada yang berpacaran, anak muda. Ada yang sendirian, bujang lapuk. Ada yang beramai-ramai, geng Catur Rakyat. Ada yang bersama anaknya, sayang anak. Ada yang bersama keluarganya, harmonis. Ada yang bersama keluarga besarnya, rapat pleno. Ada yang berdasi, transaksi gelap. Ada yang membawa karung, pulang berkebun. Ada yang memakai peci, Ustadz sedang tadabbur alam. Ada yang tak memakai alas kaki, dicuri orang sendalnya. Segala macam ekspresi ada di sana. Taman Batavia adalah wadah yang menampung seluruh eksrpresi, keluhan, keinginan, harapan, kesal, marah, rindu, dari seluruh masyarakat Cilacap, terutama di Kecamatan Wanareja itu.

   Sore itu, kala malam sedang mengambil ancang-ancang untuk menggantikan mentari yang sudah lelah dan mengantuk, Pak Yanto dan Mumun amat mesra melihat proses itu.

   "Yah, indah ya..." Mumun terlihat kagum dengan panorama yang hinggap di depannya.

   "Mun... kata Ustadz Agus, kalau melihat sesuatu yang indah tu, ucapkanlah Masya Allah. Ya?!" Pak Yanto berlagak macam Ustadz Agus persis.

   "Iya kah? Oke Yah.. ulangi." Mumun mengerti.

   "Iya... " Pak Yanto mengangguk pelan.

   "Yah, Masya Allah, indah banget yah..."

   "Iya Mun... kau tengoklah, mentari sebentar lagi akan minggat. Tapi kita tak boleh terlalu lama di sini."

   "Hem... iya Yah. Sudah mau Maghrib kan?"

   "Nah kau tahu itu. Mari, kita mudik. Sebelum jalan menggelap. Kau pegang erat-erat ya, supaya tak terbawa angin nanti."

   "Mulai lagi deh... jangan terlalu cepat Yah." Mereka menaiki sepeda ontel yang sudah siuman.

   Mereka berlaju lambat meninggalkan mentari yang mengantuk dan Taman Batavia yang kompleks beserta semua orang yang ada di sana. Lambaian dari dedaunan pohon mengiringi kepergian mereka. Diikuti dengan silir-semilir angin yang berhembus menampar-nampar segala yang mereka lalui. Langit juga nampaknya sudah mau memejamkan mata. Mas Inyong juga sudah mulai menyalakan lampu Mushala Nurul Amal, karena sudah mau adzan. Yusuf dan Hana juga sudah kembali ke rumahnya. Perjalanan Pak Yanto dan Mumun makin dipercepat. Pak Yanto tak pernah dan tak akan sudi kalau-kalau kehilangan semangat dalam kamus hidupnya.

   "Kunci kebahagiaan adalah, jalani hidup ini dengan antusias yang penuh." Begitu yang selalu Pak Yanto ajarkan kepada keluarga kecilnya. °°

Pecandu SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang