7. Di Ambang Safari

43 8 11
                                    

   Belum tahu memang, ke mana kapal akan membawa Yusuf berlabuh menuju dermaga selanjutnya. Keinginan Mumun agar Yusuf bisa bergaul dengan Al Quran dan para pejuangnya terus mengaduk-aduk pikiran Mumun.

   Berjejal-jejal hal -yang kalau boleh dirincikan- seperti kecemasan, harapan, impian, ketakutan, keraguan, keterpaksaan, kepergian, kehilangan, saling bersundulan di pikiran wanita yang dua tahun lalu ditinggal suami tercintanya itu karena kecelakaan tabrak lari.

   Karena bagi dirinya, kalau Michael
H. Hart yang menulis 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah dan ia menempatkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam menempati podium pertama, maka dalam sejarah hidup Mumun yang paling berpengaruh menggoreskan sejarah hidupnya dengan tinta dan kenangan emas tak lain adalah Pak Yanto.

   Pria melankolis yang super semangat dan super antusias dalam meniti hidup itu menjadi kepingan mozaik berharga dan tak terlupa dalam kehidupannya. Ia terus mendapat kucuran semangat sekalipun Pak Yanto telah terkubur bersama ironi. Namun kata-katanya abadi dalam ingatan Mumun.

   Salah satu pesan yang Pak Yanto pernah sampaikan pada Mumun.

   "Aku ingin anak kita, si Ucup itu, menjadi penggemar Al Quran. Bila iya, damai sudah hidupku."

   Itu yang menjadi dalil Mumun bermaksud memindahkan Yusuf ke pesantren. Katebelece itu menjadi pemantik api hidupnya. Selalu.

   Nah, akan tetapi, Mumun pusing bukan kepalang memikirkan hendak ke mana Yusuf akan berlabuh. Bahkan hingga dihinggapi penyakit paranoid yang berkepanjangan karena terlalu kental berkhayal. Aih, kasihan.

                            °°°
  
   10 hari menjelang keberangkatan Yusuf untuk menekuni salah satu bentuk jihad yaitu meraup ilmu.

   Waktu jerejak itu hendak ia gunakan untuk wara-wiri dengan kawanannya. Sebelum ia pergi. Ke mana?. Entah ke mana. Biar angin yang menghempaskan mereka ke manapun ia inginkan.

   "Bib..." Yusuf menyapa kawannya Labib. Pemuda jenaka nun konyol. Dengan tipikalnya yang ada bermacam macam.

   Satu, kala ia mulai berlagak menyombongkan diri, ia akan mengangkat alis sebelah kanannya dan menghempaskan ke belakang jambul samuderanya.

   Dua, jika marah, hidungnya akan membesar mengeluarkan napas yang tersengal-sengal, dengan dada yang kembang kempis dan bahu melebar serta posisi tangan seperti mengangkat ember berisi air yang bubung berceceran itu.

   Oh iya, ada yang terlewat, kawan. Kesombongannya itu ditandai dengan cakapnya yang makin lama akan makin bertele-tele tak tentu tujuan. Semakin tinggi bahasanya, semakin aneh.

   Ketiga, ketika ia mencoba untuk mengomandankan dirinya, terlihat amat menjengkelkan. Layaknya seorang mandor bangunan tambun yang berkicau keras sambil memakan donat dan banyak tidur. Hanya saja Labib ini kurus dan bukan penggemar tidur.

   Keempat, Labib akan selalu mencoba memintarkan dirinya ketika di kelas. Tong kosong berbunyi bising.

   "Baik anak-anak, siapa yang bisa menjawab nanti Ibu kasih hadiah. Tapi cuma satu. Kalau salah jawab, gugurlah kalian semua. Hadiah ini akan tetap di tangan Ibu." Suatu kala Bu Lela pernah memberikan kuis.

   Ya, telinga Labib kembang-kempis. Telinga macam ufo itu makin terlihat menjengkelkan. Panas Udin dibuatnya. Dengan menyiapkan tangannya di atas meja lapuk itu, ia bersiap unjuk gigi. Ia akan membuat siapapun terkagum dengannya. Ya, dengan kekonyolannya tentu.

   "Kau tengok, sebentar lagi aku akan ditimpa keberuntungan. Tengok lah." Bisiknya kepada Yusuf, teman sebangkunya.

   Bu Lela sudah menarik nafas. "Nah, siapa yang tahu, Nabi Muhammad itu dilahirkan dari rahim siapa?" Nadanya meninggi.

Pecandu SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang